Minggu, 08 Januari 2017

Renungan : oleh Romo Rusbani Setiawan BS.


Catatan di Penghujung Hari
07 Januari 2017

Beberapa hari ini selalu muncul dalam berita, pemberitaan tentang Bupati Klaten, Jawa Tengah yang tertangkap tangan KPK. Bupati Klaten diduga menerima suap berkaitan dengan pengangkatan pejabat di lingkungan Pemerintahan Kabupaten Klaten. Kalau dugaan itu pada waktunya terbukti benar, patut diduga bahwa para pejabat di lingkungan Pemerintahan Kabupaten Klaten melakukan suap dan atau menerima suap. Dengan adanya dugaan korupsi dalam pengangkatan pejabat dilingkungan pemerintahan, maka sadar atau tidak Bupati telah membangun sistem yang korup. Oleh karena sistemnya korup maka mereka yang berada dalam sistem itu patut diduga melakukan korupsi.
            Dalam kehidupan sehari-hari, kita seringkali, atau beberapa kali atau pernah berada dalam sistem yang tidak sesuai dengan hati nurani. Kita dimasukkan dalam pergulatan batin yang luar biasa. Kalau tidak mengikuti sistem berarti terlempar dari sistem itu kalau mengikuti sistem berarti melawan hati nurani yang berujung pada merendahkan harga diri.
Pujangga besar Ronggo Warsito pernah mengatakan: Hamenangi jaman edan nora edan nora komanan. Nanging sak begja begjaning wong kang edan isih begja kang eling lan waspadha. (mengalami jaman yang gila, kalau tidak ikut gila maka tidak mendapat bagian. Akan tetapi  seuntung-untungnya, semakmur-makmurnya orang yang ikut gila lebih untung mereka yang sadar diri dan waspada).
Berdasarkan nasehat itu maka pilihan yang terbaik adalah tidak ikut sistem dengan resiko terlempar dari sistem. Pilihan yang luar biasa sulit hanya mampu dilakukan oleh mereka yang terbiasa melakukan penyangkalan diri dan mampu melakukan pemati ragaan.
            Dalam situasi seperti itu aku memilih yang mana?

Iwan Roes



Renungan : oleh Romo Rusbani Setiawan BS.


Catatan di Pehujung Hari
08 Januari 2017

Dalam sebuah kesempatan, Prof. Ahmad Syafii Maarif mengatakan bahwa toleransi dalam kehidupan berbineka merupakan simbol masyarakat yang beradab. Kata toleransi berakar dari kata bahasa latin tolerare yang berarti ikut menanggung. Berdasar pada akar kata itu maka toleransi menunjuk sikap inklusif dari setiap manusia. Setiap orang tidak hanya sibuk dan terpukau dengan kepentingan pribadi akan tetapi punya hati untuk orang lain.
            Tahun-tahun belakangan ini toleransi di negeri tercinta ini mulai tergerus dan tercabik-cabik. Ada kecenderungan yang menguat orang menonjolkan identitas pribadi dan kelompoknya. Tidak jarang terjadi untuk menonjolkan identitas pribadi atau kelompoknya, menghilangkan penghargaan terhadap pribadi atau kelompok lain. Dengan demikian akan tejadi mayoritas  menekan yang minoritas, dan yang kuat  menekan yang lemah.
            Menguatnya sikap-sikap tidak toleran sebagai akibat tergerusnya toleransi di negeri ini berarti menolak keberagaman di negeri tercinta ini. Kenyataan negeri yang multi etnis, budaya, agama tidak dilihat lagi. Kekayaan negeri ini karena keberagaman tidak dirasakan lagi karena terpukau pada identitas pribadi atau kelompok. Betapa menyedihkan bila hal itu terjadi karena negeri tercinta dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika  akan tinggal kenangan.
Akan tetapi yang lebih menyedihkan adalah masyarakat di negeri tercinta ini akan dikenal sebagai masyarakat yang tidak beradap.
            Menyadari kebhinekaan dan mensyukuri kekayaan keragaman dengan membangun sikap inklusif menjadi syarat untuk mempertahankan keberadaan negeri tercinta ini dan membangun masyarakat yang beradap. Hal sederhana yang bisa dilakukan adalah menghormati adanya perbedaan dengan orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar