Catatan di Penghujung
Hari
07 Januari 2017
Beberapa
hari ini selalu muncul dalam berita, pemberitaan tentang Bupati Klaten, Jawa
Tengah yang tertangkap tangan KPK. Bupati Klaten diduga menerima suap berkaitan
dengan pengangkatan pejabat di lingkungan Pemerintahan Kabupaten Klaten. Kalau
dugaan itu pada waktunya terbukti benar, patut diduga bahwa para pejabat di
lingkungan Pemerintahan Kabupaten Klaten melakukan suap dan atau menerima suap.
Dengan adanya dugaan korupsi dalam pengangkatan pejabat dilingkungan
pemerintahan, maka sadar atau tidak Bupati telah membangun sistem yang korup.
Oleh karena sistemnya korup maka mereka yang berada dalam sistem itu patut
diduga melakukan korupsi.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita seringkali,
atau beberapa kali atau pernah berada dalam sistem yang tidak sesuai dengan
hati nurani. Kita dimasukkan dalam pergulatan batin yang luar biasa. Kalau
tidak mengikuti sistem berarti terlempar dari sistem itu kalau mengikuti sistem
berarti melawan hati nurani yang berujung pada merendahkan harga diri.
Pujangga
besar Ronggo Warsito pernah mengatakan: Hamenangi
jaman edan nora edan nora komanan. Nanging sak begja begjaning wong kang edan
isih begja kang eling lan waspadha. (mengalami jaman yang gila, kalau tidak
ikut gila maka tidak mendapat bagian. Akan tetapi seuntung-untungnya, semakmur-makmurnya orang
yang ikut gila lebih untung mereka yang sadar diri dan waspada).
Berdasarkan
nasehat itu maka pilihan yang terbaik adalah tidak ikut sistem dengan resiko
terlempar dari sistem. Pilihan yang luar biasa sulit hanya mampu dilakukan oleh
mereka yang terbiasa melakukan penyangkalan diri dan mampu melakukan pemati
ragaan.
Dalam situasi seperti itu aku
memilih yang mana?
Iwan
Roes
Renungan : oleh Romo Rusbani Setiawan BS.
Catatan di Pehujung Hari
08 Januari 2017
Dalam
sebuah kesempatan, Prof. Ahmad Syafii Maarif mengatakan bahwa toleransi dalam
kehidupan berbineka merupakan simbol masyarakat yang beradab. Kata toleransi
berakar dari kata bahasa latin tolerare yang
berarti ikut menanggung. Berdasar pada akar kata itu maka toleransi menunjuk
sikap inklusif dari setiap manusia. Setiap orang tidak hanya sibuk dan terpukau
dengan kepentingan pribadi akan tetapi punya hati untuk orang lain.
Tahun-tahun belakangan ini toleransi
di negeri tercinta ini mulai tergerus dan tercabik-cabik. Ada kecenderungan
yang menguat orang menonjolkan identitas pribadi dan kelompoknya. Tidak jarang
terjadi untuk menonjolkan identitas pribadi atau kelompoknya, menghilangkan
penghargaan terhadap pribadi atau kelompok lain. Dengan demikian akan tejadi
mayoritas menekan yang minoritas, dan
yang kuat menekan yang lemah.
Menguatnya sikap-sikap tidak toleran
sebagai akibat tergerusnya toleransi di negeri ini berarti menolak keberagaman
di negeri tercinta ini. Kenyataan negeri yang multi etnis, budaya, agama tidak
dilihat lagi. Kekayaan negeri ini karena keberagaman tidak dirasakan lagi
karena terpukau pada identitas pribadi atau kelompok. Betapa menyedihkan bila
hal itu terjadi karena negeri tercinta dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika akan tinggal kenangan.
Akan
tetapi yang lebih menyedihkan adalah masyarakat di negeri tercinta ini akan
dikenal sebagai masyarakat yang tidak beradap.
Menyadari kebhinekaan dan mensyukuri
kekayaan keragaman dengan membangun sikap inklusif menjadi syarat untuk
mempertahankan keberadaan negeri tercinta ini dan membangun masyarakat yang
beradap. Hal sederhana yang bisa dilakukan adalah menghormati adanya perbedaan
dengan orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar