Minggu, 22 Januari 2017


Renungan oleh : Romo Rusbani Setiawan BS. 
Catatan di Penghujung Hari 20 Januari 2017
Dalam sebuah perjumpaan di forum terbatas yang diikuti sekitar 60 orang, seorang pembicara mengajukan pertanyaan kepada peserta dalam forum itu. Pertanyaan yang diajukan adalah menurut anda semua, Tuhan itu siapa? Spontan para peserta langsung memberi jawaban. Hal itu menggembirakan karena menunjukan bahwa semua perserta kenal siapa Tuhan yang mereka Imani. Untuk mengurangi kegaduhan karena jawaban yang bersama-sama tersebut, pembicara meminta peserta satu persatu menjawab. Jawaban semua peserta bagus dan benar dan dengan jawaban itu menunjukan pemahaman dan pengetahuan mereka tentang Tuhan sebagaimana yang mereka dengar, baca atau pelajari. Ketika pembicara mengajukan pertanyaan berikut: “Siapa Tuhan menurut kamu sendiri berdasarkan pengalamanmu akan Tuhan?” Ruangan menjadi hening dan semua peserta tampak mulai serius berpikir. Betapa sering pengetahuan akan Tuhan menjebakku untuk berpikir tentang Tuhan. Aku begitu mudah bercerita tentang Tuhan, semakin banyak buku tentang Tuhan yang kubaca atau pelajaran tentang Tuhan yang kudapat semakin mudah aku bercerita tentang Tuhan. Dan sering kali aku puas dan bangga tentang itu. Bukankah berkaitan dengan Tuhan yang paling utama dan pertama adalah pengalamanku akan Tuhan? Bagaimana Tuhan kualami dalam kehidupanku sehari-hari? Memang berdasarkan pengalaman hidupku sehari-hari akan Tuhan aku tidak dapat menghasilkan rumusan-rumusan yang bagus untuk menjawab siapa Tuhan menurutku. Namun bukankah dengan pengalamanku akan Tuhan dalam hidupku sehari-hari justru menjadi pengalaman yang mengendap dalam diriku sehingga tidak mudah untuk hilang atau dicabut. Seandainya aku selalu terjebak untuk selalu memikirkan Tuhan dan bangga dengan pemikiran-pemikiran itu, jangan-jangan aku beriman juga sejauh dalam pikiran saja?
Iwan Roes

Renungan oleh : Romo Rusbani Setiawan BS. 
Catatan di Penghujung hari 21 Januari 2017
Tadi siang, dalam sebuah acara aku mendengarkan ungkapan kekecewaan seorang bapak. Bapak ini begitu mengagumi Emirsyah Sattar mantan CEO Garuda Indonesia. Bapak ini tidak kenal dan tidak pernah bertemu dengan Emirsyah. Ia kenal lewat berita-berita yang ia baca dan Ia dengar. Ia melihat sosok Emirsyah sebagai sosok yang bersih, CEO yang hebat, CEO yang sering mendapatkan penghargaan, dan CEO yang tidak rakus jabatan terbukti Emirsyah berani mengundurkan diri sebagai CEO Garuda. Membaca dan mendengar berita bahwa Emirsyah menjadi tersangka kasus suap dalam jumlah yang besar, dan juga melakukan penyuapan, membuat bapak ini begitu geram dan marah. Ia merasa tertipu dan terbodohi. Kalau benar nanti terbukti bahwa Emirsyah Sattar melakukan pelanggaran hukum sebagaimana berita yang beredar maka bapak yang bertemu denganku dan ada banyak bapak-bapak atau siapa saja yang lain telah tertipu oleh berita pencitraan yang beredar selama ini. Kalau berita-berita pencitraan itu sengaja dibuat untuk membangun image yang baik dengan tujuan menutupi kejahatannya maka ada kesengajaan untuk membohongi publik. Artinya ada kejahatan moral. Kiranya Emirsyah bukan satu-satunya pejabat di negeri ini yang dengan sengaja menyebarkan berita-berita pencitraan untuk menutupi kejahatan yang telah dilakukannya. Dengan demikian betapa mengerikan negeri ini karena banyak pejabat yang melakukan kejahatan moral dengan menyebarkan berita yang dengan sengaja untuk membohongi dan membodohi mayarakat. Rasanya dalam skala yang kecil betapa sering aku juga melakukan kejahatan moral karena aku membangun topeng-topeng untuk menutupi kejahatanku. Mungkin bukan masyarakat luas yang telah kubohongi tetapi justru orang–orang yang dekat denganku bahkan mereka yang mencintai dan kucintai.
Iwan Roes
Renungan oleh : Romo Rusbani Setiawan BS.
Catatan 23 Januari  2017
Berita harian Kompas hari ini dalam feature Gaya Hidup menampilkan Anggun C Sasmi. Feature mengangkat salah satu sisi dari Anggun yaitu saat paling lemah yang dialaminya. Salah satu momen dalam hidupnya yang dianggap sebagai saat yang paling lemah adalah saat pembuatan album. Alasanya karena tidak ada formula tepat yang dapat membuat album tersebut bakal disukai atau laris. Tidak ada jaminan sama sekali bahwa album tersebut bakal diterima banyak orang. Apa yang dilakukan adalah berusaha sejujur mungkin dalam bermusik dan sejujur mungkin dalam menulis lagu. Kuncinya adalah jujur dalam berkarya. Bagi public figure penampilan menjadi amat penting karena penampilannya akan dinilai oleh banyak orang. Tidak jarang penampilan menjadi penentu bagi kelanjutan karirnya. Oleh karena itu tidak mengherankan kalau banyak public figure fokus pada penampilan. Saat sekarang ini ketika musim kampanye marak di berbagai daerah para calon pemimpin daerah dan para politisi menjadi public figure dadakan. Tidak jarang mereka menyewa orang atau organisasi untuk mengatur dan menata penampilan. Dengan demikian diharapkan penampilan mereka menarik dan “menjual” . Untuk keperluan itu sudah barang tentu membutuhkan biaya yang tidak murah. Masyarakat khususnya para calon pemilih pemimpin daerah disuguhi tampilan para calon yang sudah diatur dan ditata. Artinya dapat diduga semua yang kelihatan adalah hasil polesan. Muncul kesan para calon pemimpin mengikuti selera pasar. Segala sesuatu diatur agar sesuai keinginan pasar dengan harapan dipilih oleh pasar. Pertanyaannya adalah adakah yang jujur dari penampilan mereka? Adakah kejujuran dalam niat dan karya mereka? Betapa mengerikan kalau pemimpin daerah terpilih karena hasil polesan dengan biaya besar. Adakah yang bisa diharapkan dari mereka? 
Iwan Roes

Tidak ada komentar:

Posting Komentar