Senin, 27 Februari 2017

Renungan : oleh Romo Rusbani Setiawan BS.
Catatan di Penghujung Hari
27 Februari 2017

F. Budi Hardiman pengajar filsafat politik Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara sebagaimana dikutip harian Kompas hari ini di bawah judul Demokrasi Tengah Bermasalah mengatakan bahwa Populisme muncul akibat mekanisme demokrasi yang buruk sehingga timbul tidak berarti menjadi solusi agas persoalan demokrasi. Kegagalan dalam mengatasi pertumbuhan populisme bisa berujung pada jatuhnya system demokrasi ke pemerintahanan populis. Dampaknya, system tetap ada tetapi diarahkan untuk tujuan populis. Prosedur hukum akan dilangkahi atau bahkan dimanfaatkan demi mencapai tujuan massa populis. Dampak merusak lainnya ialah populisme memusuhi pluralism dan kerap meracuni ruang publik dengan narasi-narasi kebencian terhadap elite atau kebencian terhadap minoritas dan pendatang. Selanjutnya dia berpendapat bahwa akan lebih baik jika aspirasi kaum populis didialogkan dengan system politik tanpa mengorbankan sistem demokrasi. Dan mereka sepatutnya hanya diperhitungkan sebagai salah satu komponen masyarakat.
Menempatkan kaum populis sebagai salah satu komponen masyarakat berarti menempatkan mereka dalam pluralitas masyarakat. Tidak lagi melihat mayoritas minoritas atau membeda-bedakan golongan. Dialog diusulkan sebagai salah satu upaya menjaga demokrasi dari bahaya populisme. Dialog mengandaikan kedewasaan dalam hidup bermasyarakat, karena dialog menempatkan pihak-pihak yang berdialog sebagai yang setara. Dialog tidak memaksakan pendapat dan kehendak akan tetapi dialog mencari kesejahteraan bersama.
Mencermati kebangkitan populisme di indonesia misalnya gerakan yang mengastanamakan kaum terzolimi oleh penistaan agama, menunjukkan gejala sulit untuk berdialog. Ada kesan dengan gerakan massa yang besar bisa memaksakan pendapat dan kehendak mereka. Tidak jarang cara mengutarakan pendapat dan kehendak disertai ancaman. Di lain pihak ada kesan bahwa gerakan populis yang ada bukan kesadaran murni dari masing pribadi yang terlibat akan tetapi gerakan yang diperalat untuk kepentingan segelintir elite. Oleh karena itu sarana yang paling penting dalam upaya menjaga demokrasi di Indonesia adalah penegakan hukum. Hukum harus tegak bagi semua golongan, tajam ke bawah dan juga tajam ke atas.
Adalah kecenderungan manusia, ketika merasa lebih akan memaksakan pendapat dan kehendaknya kepada yang dianggap kurang, bila perlu menghalalkan segala cara. Maka butuh wasit yang adil dan netral. Persoalan besar masih adakah di negeri ini wasit yang sungguh-sungguh netral dan memperjuangkan keadilan?

Iwan Roes

Minggu, 26 Februari 2017

Renungan : oleh Romo Rusbani Setiawan BS.
 
Catatan di Penghujung Hari
26 Februari 2017

Beberapa waktu yang lalu beredar di media sosial video perkelahian pelajar atau yang sering dikenal dengan tawuran pelajar. Dari seragam sekolah yang dikenakan tampak bahwa mereka adalah pelajar Sekolah Menengah Atas. Dalam tayang tersebut nampak betapa beringas para pelajar dengan senjata yang dibawanya. Bahkan nampak beberapa pelajar membawa clurit. Dalam tayangan tersebut ada tampilan yang sungguh mengerikan dimana ada seorang pelajar yang terjatuh kemudian dihujani pukulan dengan menggunakan clurit. Sebuah kejadian yang mengerikan dan menyesakkan. Mengerikan karena mempertunjukan keberingasan dan kekejaman; menyesakkan karena itu dilakukan oleh para pelajar dan masih menggunakan seragam sekolah.
Kejadian tawuran pelajar seperti tidak pernah ada habisnya, dan tidak jarang merenggut korban dari pelajar yang tidak pernah terlibat di dalamnya. Berbagai upaya tentu sudah banyak ditempuh tetapi belum menunjukkan hasil yang signifikan. Akar persoalan dari tawuran pun sulit untuk ditemukan. Beberapa kejadian tawuran bersumber dari dendam yang turun temurun sedang ujung persoalan sudah tidak diketahui lagi. Beberapa kejadian yang lain bermula dari saling ejek diangkutan umum beberapa kejadian bersumber dari “jiwa korsa” yang sempit dan salah. Sebuah pola pendidikan yang kurang baik yang diduga terjadi pada saat pengenalan siswa baru atau orientasi sekolah yang dipandu oleh para senior. Karena pada saat itu diduga ada penanaman nilai yang kemudian menjadi sumber terjadinya tawuran pelajar.
Kembali betapa penting institusi penyelenggara pendidikan menyadari bahwa sekolah belum sungguh menjadi tempat pendidikan generasi masa depan yang menjanjikan. Lembaga penyelenggara pendidikan bisa saja berpendapat bahwa pelaku tawuran adalah oknum dan dikenai sanksi dikeluarkan dari sekolah. Mereka yang kemudian dikeluarkan dari sekolah apakah tidak menjadi lebih berbahaya sebagai generasi masa datang? Pendidikan karakter perlu mendapatkan porsi yang lebih dari cukup dibandingkan dengan pengajaran. Selama ini pengajaran mendapatkan porsi yang lebih banyak dibandingkan pendidian karakter. Pendidikan-pendidikan humaniora, yang mengantar para peserta didik pada kesadaran kemanusiaan sehigga menjunjung tinggi kemanusiaan menjadi hal pokok dalam pendidikan karakter.
Pendidikan yang berbasis cinta kasih yang di dalamnya belajar kastria dan kerelaan untuk mengampuni akan menghasilkan generasi mendatang yang menjadi agen-agen kedamaian dan pejuang kemanusiaan.

Iwan Roes

Sabtu, 25 Februari 2017

Renungan : Oleh Romo rusbani Setiawan BS
 https://scontent-sit4-1.xx.fbcdn.net/v/t1.0-9/16996007_1066039313523441_1220179167707856513_n.jpg?oh=731966dbbbfbd1a98a1d3a3bbd7856d7&oe=59264D71

Jumat, 24 Februari 2017

Liputan Misa Tirakatan/ Novena Kamis, 23 Feb. 2017  di Taman Doa Bunda Kristus Tebar Kamulyan Subang.
 
Misa dipimpin oleh Pastor Yulius Hirnawan, OSC , sesuai dengan Tema malam itu yang diangkat adalah " Keluarga Adalah Sebagai Pilihan Hidup", didalam Renungannya Pastor Yulius mencoba kembali mengingatkan alasan seseorang memutuskan untuk menikah..; berbagai alasan sikemukakan oleh umat yang di tanya; ada yang menyebut untuk meneruskan keturunan, ada yang menyebut keburu tua, ada yang menyebut, karena sayang..... tetapi ada yang lebih penting sebetulnya dari itu semua bahwa Sesoorang menikah adalah sebuah Pilihan Hidup dan merupakan rencana dari Allah, jadi hendaknya sesorang harus bisa bersyukur atas segala Rahmat dari Allah atas apa dan siapa yang mendapingi kita sebagai pasangan hidup... ; Misa di tutup dengan adorasi... kami atas nama pengurus taman doa Bunda Kristus Tebar Kamulyan mengucapkan terima kasih atas kehadiran para peziarah dalam acara ini...Tuhan memberkati...













































Kamis, 23 Februari 2017

Renungan : oleh Romo Rusbani Setiawan BS
 
Catatan di Penghujung Hari
23 Februari 2017

Di Harian Kompas hari ini dibawah judul Praktik Demokrasi Kebablasan, memberitakan bahwa menurut Presiden Joko Widodo praktik demokrasi di Indonesia sudah kebablasan dan praktik politik yang dilaksanakan telah membuka peluang terjadinya artikulasi politik ekstrem, seperti liberalisme, radikalisme, fundamentalisme, sektarianisme, terorisme serta ajaran lain yang bertentangan dengan ideologi Pancasila. Presiden menegaskan saat ini Indonesia masih bersatu. Namun perlu pembenahan terutama terkait pemahaman Indonesia sebagai bangsa yang majemuk dan rukun dalam keberagaman. Untuk mengatasi demokrasi yang kebablasan kuncinya adalah penegakan hukum.
Dalam negara demokrasi rakyat punyak hak untuk menyuarakan pendapat dengan bebas. Kebebasan berpendapat dilindungi oleh konstitusi. Namun demikian penggunaan kebebasan tidak berarti sebebasnya menurut kepentingan sendiri atau kelompoknya tanpa memperhitungan hak orang lain. Dari apa yang dikatakan Presiden jelas bahwa kebebasan dalam mengungkapkan pendapat dan kehendak harus dalam koridor yang telah ada. Koridornya adalah ideologi Pancasila, pemahaman tentang Indonesia sebagai bangsa yang majemuk, dan rukun dalam keberagaman. Maka kalau ada usaha-usaha menggunakan kebebasan dengan keluar dari koridor itu berarti telah melawan hukum, dan harus ada penindakan hukum atasnya.
Demokrasi yang kebablasan bisa terjadi salah satu sebabnya adalah lemahnya penegakan hukum. Apabila hukum dijalankan dengan benar dan tegas maka hal-hal yang mengarah ke kebablasan dapat dicegah sebelum menjadi besar. Semakin lemah penegakan hukum semakin banyak yang coba-coba untuk keluar dari koridor yang ada. Dan apabila semakin jauh kebablasannya sulit untuk mengembalikannya karena menjadi hilang ujung pangkalnya.
Koridornya jelas, maka tinggal ketegasan dalam penegakan hukum.

Iwan Roes

Rabu, 22 Februari 2017

Renungan : oleh Romo Rusbani Setiawan BS.
Catatan di Penghujung Hari
22 Februari 2017
 
Ada seorang ibu sepuh bercerita bahwa ia, suami, anak dan calon menantunya dimarahi oleh seorang pastor. Ibu itu datang ke pastor untuk mengadukan masalah perkawinan yang dihadapai oleh anak perempuannya. Ibu itu tahu bahwa apa yang dialami oleh anak perempuannya itu tidak mungkin diselesaikan menurut hukum dan tatacara perkawinan katolik karena adanya halangan perkawinan. Namun demikian ibu itu bermaksud untuk mendapatkan bantuan nasehat bagaimana agar mereka dapat mempertahankan iman mereka sebagai orang katolik. Namun sayang bukan bantuan dan nasehat untuk dapat menemukan jalan keluar tetapi justru dimarahi dan tetap dengan masalah yang belum ada jalan keluar.
            Tentu semua cerita tetap butuh cross check dengan pastor yang bersangkutan. Lepas benar atau tidak cerita ibu sepuh itu, cerita tentang umat yang datang ke pastor untuk mendapatkan bantuan berkaitan dengan masalah perkawinan atau masalah lain yang salah menurut hukum Gereja sering kali menemukan jalan buntu dan tidak jarang justru mendapatkan perlakuan yang kurang menyenangkan dari pastornya. Kisah-kisah tentang para pastor yang sering tidak memberikan pemecahan dan pertolongan dalam berhadapan dengan hukum Gereja berbanding terbalik dengan apa yang ditampilkan oleh pimpinan Gereja Katolik Roma Sri Paus Fransiskus. Ada kisah seorang ibu muda yang di negara yang amat memegang tradisi katolik dengan kuat, hamil di luar nikah. Pasangannya mau menikahi kalau ibu muda itu menggugurkan anak yang dikandungnya. Ia memilih berpisah dengan pasangannya demi mempertahankan kandungannya. Masalah muncul ketika ibu itu ingin membabtiskan anaknya. Tidak ada satu pastorpun di kota itu yang mau membabtis anak hasil hubungan di luar nikah tersebut. Ibu itu mengirim surat kepada Sri Paus dan apa yang dilakukan Sri Paus memanggil ibu itu dan Beliau sendiri yang membabtisnya. Apa yang ditampilkan oleh Sri Paus adalah tanda dan kesaksian nyata bahwa Gereja  Katolik adalah Gereja yang murah hati. Sri Paus mengajak para Imamnya dan umatnya agar menampilkan Gereja sebagai Gereja yang murah hati dan penuh belas kasih. Hukum adalah Hukum bukan untuk dilanggar atau dicari-cari celah untuk bisa melanggar. Akan tetapi ketika berhadapan dengan situasi tidak bisa diselesaikan dengan hukum dibutuhkan bantuan pastoral bagi umat yang bermasalah agar tetap dapat menghayati Iman katolik dengan baik dan bahagia.
            Para Imam sebagai garda terdepan dalam mewartakan Gereja yang murah hati dan berbelas kasih. Sikap simpati, empati dan compassion dari para imam dibutuhkan ketika berhadapan dengan para umat. Tidak mudah memang tetapi kiranya dengan rahmat tahbisan yang kami terima kekurangan dan kelemahan kami menjadi cara agar Tuhan semakin terlibat dalam hidup dan karya kami. Masak Imam kalah dengan Pegadaian. (moto Pegadaian menyelesaikan masalah tanpa masalah)
 
Iwan Roes

Selasa, 21 Februari 2017

Renungan : oleh Romo Rusbani Setiawan BS
Catatan di Penghujung Hari
21 Februari 2017

Di media social, dalam dua hari terakhir muncul ajakan untuk melakukan demonstrasi (aksi damai) 212 ke gedung DPR – MPR. Dalam ajakan itu juga disebutkan beberapa tuntutan antara lain: Penjarakan Ahok, Penjarakan Penista agama, turunkan Jokowi – JK, turunkan Tito Karnavian, Hentikan kriminalisasi ulama. Tuntutan-tuntutan itu bersumber dari kasus Ahok yang menjadi tersangka kasus penistaan agama dan sampai sekarang masih berproses di pengadilan sementara Ahok kembali menjalankan tugas sebagai Gubernur setelah masa cuti kampanye berakhir. Disamping itu juga adanya proses kepolisian terhadap Habib Riziq dan beberapa ulama.
Mencermati apa yang dilakukan oleh rekan-rekan penganjur gerakan aksi damai 212 dengan segala tuntutannya terasa aneh dan lucu. Perilaku itu mengingatkan akan perilaku anak kecil yang manja dan bandel. Anak kecil seperti itu seringkali berulah mencari perhatian terus menerus dan ingin mendapatkan keistimewaan. Tidak pernah mau menerima bila saudaranya atau orang lain mendapat yang sama apalagi lebih darinya. Anak seperti ini akan selalu rewel dan membuat ulah agar mendapatkan perhatian terus menerus. Selain itu ada sikap yang dalam Bahasa Jawa disebut ora pandak yang artinya kurang lebih adalah sikap pecundang. Anak yang ora pandak sering mengejek atau melukai orang lain tetapi bila tersentuh sedikit akan marah atau merajuk luar biasa. Orang lain harus dihukum karena kesalahannya tetapi bila dirinya yang salah tidak mau menerima hukuman dan membuat ulah agar tidak dihukum. Anak seperti ini dalam keluarga amat merepotkan orang tua dan saudara-saudara maupun teman-temannya. Sikap yang bisa diambil oleh orang tua adalah mendiamkan artinya membiarkan berulah sampai capek dan jangan diberi perhatian atau mendisiplinkan dengan ketegasan agar berubah sikapnya. Anak seperti ini bila selalu dituruti maka ke depan akan mengerikan dan berakibat buruk bagi keluarga dan masyarakat.
Rasanya pemerintah perlu bersikap sebagai orang tua yang tegas dalam mendisiplinkan anak, berhadapan dengan rekan-rekan penganjur gerakan-gerakan demonstrasi 212 dan sejenisnya. Jika dibiarkan dan dituruti, negarapun mereka minta untuk kepentingan dirinya. Dan bila itu terjadi kehancuran yang akan dialami. Sebelum terlambat dan meratap perlu diambil sikap.

Iwan Roes

Senin, 20 Februari 2017

Jangan lewatkan, Hari Kamis 23 Februari 2017 ada Misa Tirakatan/ Novena di Taman Doa Bunda Kristus "Tebar Kamulyan" Subang yang akan dipimpin oleh Pastor Yulius Hirnawan, OSC. Tuhan memberkati..
Renungan : oleh Romo Rusbani Setiawan BS

Catatan di Panghujung Hari
20 Februari 2017
Selama 2 hari kami anggota Komisi Kerawam KWI mengunjungi Labuan bajo. Kami menikmati keindahan ibu kota Manggarai Barat. Di samping menikmati keindahan kota, kami menikmati perjalanan dengan kapal untuk menikmati keindahan puncak pulau Padar, pulau Komodo dan Pink Beach. Sepanjang perjalanan kami menikmati laut yang indah dan keindahan pulau-pulau kecil. Kota Labuan Bajo sekarang telah menjadi destinasi wisata tidak hanya lokal tetapi juga internasional. Banyak turis asing yang mengunjungi Labuan Bajo dengan segala destinasi wisatanya. Salah satu keistimewaan Labuan Bajo adalah adanya habitat Komodo di pulau Rinca dan pulau Komodo.
            Dalam perbincangan dengan beberapa rekan di sana, kami ketahui bahwa tanah-tanah sepanjang pantai dan pulau-pulau di Labuan Bajo telah habis dibeli oleh para pemilik modal, dan sebagian besar dimiliki orang asing. Selain tanah dan pulau, beberapa hotel dan restoran juga dimiliki dan dikelola oleh orang asing. Dengan banyak minat berinvestasi khususnya tanah di Labuan Bajo menyebabkan harga tanah menjadi amat tinggi, akibatnya masyarakat lokal menjadi tidak mampu untuk membeli tanah di sana. Dengan demikian masyarakat lokal akan semakin terdesak ke tempat-tempat yang jauh dari pantai dan dari kota. Selain ketidak mampuan untuk membeli tanah, masyarakat lokal juga tidak mempunyai kemampuan finansial untuk membangun usaha, sehingga mereka hanya akan menjadi pekerja. Tentu semua itu menimbulkan keprihatinan sebagaimana terjadi dibanyak daerah yang mulai tumbuh perekonomiannya, dimana masyarakat lokal menjadi “korban”. Namun, keprihatinan yang paling besar dan mengerikan adalah seandainya semua dikuasai orang asing sehingga menyebabkan kita menjadi tamu di negeri sendiri. Sudah banyak contoh tempat-tempat wisata yang “dikuasai” orang asing sehingga orang Indonesia sulit untuk menikmati kawasan wisata itu atau kalau menikmati harus membayara dalam dolar atau euro.
            Perlu sebuah regulasi yang jelas dan tegas agar destinasi-destinasi wisata tetap dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat Indonesia dan masyarakat Indonesia tidak menjadi tamu di negeri sendiri. Kalau tidak, maka ada bentuk “penjajahan” baru.

Iwan Roes

 
Segenap Pengurus Dewan Pastoral Paroki, Organisasi, dan umat Paroki Kristus Sang Penabur Subang mengucapkan " Selamat Ulang Tahun ke 49"
kepada Romo Paulus Rusbani Setiawan BS. (Romo Iwan), semoga Romo Iwan selalu beroleh kesehatan, panjang umur dan bahagia dalam hidup, karya dan pelayanan penggembalaannya di Paroki Subang , Tuhan memberkati...


Minggu, 19 Februari 2017


Renungan : Romo Rusbani Setiawan BS. 

Catatan di Penghujung Hari
19 Februari 2017

Dalam debat publik, pasangan calon Gubernur DKI Anies – Sandiaga Uno menyebutkan salah satu program unggulannya adalah memberikan kredit rumah tanpa DP. Ketika ditanya oleh pasangan lain, dia menjawab bahwa itu ada hitung-hitungannya. Sontak program itu menjadi bahan ejekan di media sosial, bahkan beberapa orang membuat perhitungan yang menunjukkan bahwa program itu tidak mungkin dilaksanakan. Beberapa hari yang lalu Gubernur Bank Indonesia mengatakan bahwa tidak bisa kredit rumah tanpa DP itu melanggar peraturan. Media sosial kembali ramai dengan tuntutan agar Anies meminta maaf atas program yang ditawarkan tetapi tidak mungkin untuk dilaksanakan. Alih-alih meminta maaf Anies justru membela diri bahwa ada kesalahan publik mengerti maksud program kredit rumah tanpa DP.

Ada ungkapan “No bodies perfect”, artinya setiap orang bisa salah dan bisa jatuh. Keberanian mengakui kesalahan adalah sebuah sikap yang terpuji. Memang dengan mengakui kesalahan seolah-olah seseorang mendapatkan aib. Akan tetapi bagi public figure mengakui kesalahan menunjukkan kedewasaan diri dan sikap ksatria. Beberapa waktu yang lalu Agus Harimurti menampilkan diri sebagai seorang ksatria dengan berani mengakui kekalahan. Kendati seolah-olah itu aib akan tetapi publik memberi apresiasi yang tinggi. Keberanian mengakui kekalahan dan kesalahan tidak dimiliki oleh banyak orang maka butuh teladan orang yang berani dengan ksatria mengakui kesalahan alih-alih membela diri.

Seseorang yang tidak berani dan tidak mengakui kesalahan adalah pecundang, dan amat berbahaya bila menjadi pemimpin karena dia akan mengorbankan orang lain sebagai kambing hitam untuk memoles kesuciannya.

Iwan Roes


Renungan Oleh : Romo Rusbani Setiawan BS.


Catatan di Penghujung Hari
18 Februari 2017

Dalam berita harian Kompas tanggal 17 Februari 2017 di bawah judul Pelajaran Berharga dari Kabupaten Buton, memberitakan bahwa pasangan calon bupati yang juga adalah petahana Samsu Umar Abdul Samiun – La Bakry menang melawan kotak kosong. Status hukum Umar sebagai tersangka kasus penyuapan mantan Ketua Hakim Konstitusi Akil Mochtar dan sudah ditahan KPK sejak 26 Januari 2017 tidak mempengaruhi para pendukungnya untuk memilih. Bagi para pendukungnya kendati sebagai tahanan KPK, Umar tetaplah pahlawan. Harian ini juga memberitakan bagaimana para pengikut Dimas Kanjeng tetap setia meski ia telah ditahan dengan dugaan penipuan dan otak pembunuhan.
            Apa yang terjadi terhadap para pendukung Umar dan pengikut Dimas Kanjeng terasa aneh bila dinalar. Para pendukung seolah tidak peduli dengan perilaku dari tokoh idolanya, entah dia benar atau salah ,  baik atau jahat tetap idola maka di mata mereka hanya nampak apa yang baik saja. Kebaikan dari tokoh idola bisa menutupi semua kesalahan dan kejahatan yang dilakukannya. Mengidolakan seseorang yang cenderung menjadi mengkultuskan seseorang amat mudah terjadi. Ada begitu banyak contoh bagaimana model-model mengkultuskan individu tertentu sehingga membutakan seseorang.
            Pilkada sudah, sedang dan akan berlangsung di berbagai daerah. Dengan pilkada akan muncul tokoh-tokoh yang dijadikan idola.  Dengan berbagai macam cara tim sukses menunjukkan sisi baik dan kelebihannya agar tokoh tertentu menjadi idola dan menjadi pemenang dalam pilkada. Apabila tidak hati-hati apa yang dilakukan tim sukses  akan membawa masyarakat jatuh pada pengkultusan. Akibatnya orang tidak lagi menjadi kritis terhadap idolanya. Sikap kritis amat diperlukan agar orang tidak terjebak dalam pengkultusan  yang seringkali menimbulkan kerugian bagi diri sendiri maupun masyarakat. Tanpa bermaksud membuat kampanye hitam, butuh orang lain yang berani menyuarakan sikap kritis terhadap para pasangan calon. Dengan demikian masyarakat diajak untuk memilih dengan cerdas, mampu mempertimbangkan kelebihan dan kekurangan calon.
            Mengagumi dan mendukung tokoh selalu baik akan tetapi tidak harus kehilangan sikap kritis sehingga tidak terbuai dan tertipu.

Iwan Roes