Selasa, 31 Januari 2017

Renungan : oleh Romo Rusbani Setiawan BS
Catatan di Penghujung Hari
31 Janunari 2017

Berita harian Kompas hari ini memberitakan bahwa Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Mohammad Nasir telah menandatangani Peraturan Menristek dan Dikti No. 20 tentang Tunjangan Profesi Dosen dan Tunjangan Kehormatan Profesor. Pasal 8 peraturan itu menyatakan, untuk bisa memperoleh tunjangan kehormatan, seorang professor di perguruan tinggi harus memenuhi satu di antara sejumlah syarat. Syarat itu antara lain menghasilkan paling sedikit tiga karya ilmiah yang diterbitkan di jurnal internasional dalam kurun waktu tiga tahun. Persyaratan lainnya adalah menghasilkan paling sedikit satu karya ilmiah yang diterbitkan di jurnal internasional dalam kurun tiga tahun. Dengan adanya peraturan itu berarti Guru besar diwajibkan untuk menghasilkan publikasi ilmiah di jurnal international dalam kurun waktu tiga tahun. Adanya peraturan yang mewajibkan berarti patut diduga bahwa ada professor yang tidak lagi menghasilkan publikasi ilmiah.
Seseorang mendapat gelar Guru besar atau Profesor berkat karya-karya ilmiah yang telah dipublikasikan. artinya gelar professor adalah “akibat” dari kebiasaan menghasilkan publikasi ilmiah karena usaha untuk mendalami bidang ilmunya. Bagi seorang professor menghasilkan publikasi karya ilmiah adalah “habitus”, maka menjadi aneh bila muncul peraturan yang mewajibkan yang mewajibkan professor menghasilkan publikasi karya ilmiah. Kalau benar dibalik peraturan itu banyak professor yang mulai “mandeg” tidak lagi menghasilkan publikasi karya ilmiah maka sirene tanda bahaya bagi dunia pendidikan. Tentu ada banyak alasan mengapa tidak menghasilkan publikasi karya ilmiah baik alasan yang masuk akal maupun tidak.
Kesan yang muncul kok professor diperlakukan atau berkelakuan seperti pelajar sekolah dasar yang diwajibkan belajar atau membaca buku, kalau tidak belajar atau tidak membaca buku uang jajannya dikurangi.

Iwan Roes

Senin, 30 Januari 2017

Renungan : oleh Romo Rusbani Setiawan BS.
 
Catatan di Penghujung Hari
30 Januari 2017

Dalam dua hari terakhir beredar transkrip percakapan telepon antara yang dianggap sebagai suara Firza Husein dan yang disebut sebagai Emma. Selain transkrip pembicaraan telephone juga berseliweran transkrip pembicaraan melalui media sosial antara yang dianggap Firza Husein dengan yang dianggap Habib Rizieq. Entah benar atau tidak transkrip itu, namun mengunggah transkrip pembicaraan sebagai berita dan menyebarkannya adalah tindakan yang mengerikan. Bahkan tidak jarang penyebaran transkrip itu disertai kalimat-kalimat “hujatan”. Kesan yang muncul adalah usaha untuk menelanjangi aib seseorang. Bisa jadi yang ditelanjangi adalah orang yang dianggap amat jahat sehingga dianggap layak untuk ditelanjangi.
Penelanjangan dan pembunuhan karakter seseorang sering terjadi lewat media sosial, apalagi dengan menggunakan media sosial pelaku menjadi anonim. Dan banyak orang dengan mudah untuk menyebarkannya. Perilaku penelanjangan dan pembunuhan karakter telah melukai rasa kemanusiaan dan keadilan. Dengan demikian periku seperti itu jauh dari keadaban. Semua itu bersumber dari rasa benci seseorang.
Kebencian yang dipelihara mendorong seseorang untuk bersikap menghilangkan orang yang dibencinya, baik secara fisik dalam arti membunuh orang, menghilangkan karakter seseorang dengan melakukan pembunuhan karakter, atau suatu sikap tidak menghargai keberadaan seseorang.
Saat ini media sosial telah dipakai sebagai sarana untuk menebar kebencian dan ajakan untuk ikut dalam kebencian. Dengan demikian berapa banyak orang yang telah dijerumuskan untuk menjadi “pembunuh”. Fungsi Media sosial adalah menjadi “jembatan” seorang dengan orang lain. Maka seharus media sosial dimanfaatkan untuk menumbuhkan dan mengembangkan cinta kasih. Media sosial seharusnya melahirkan agen-agen cinta kasih.

Iwan Roes

Minggu, 29 Januari 2017

 Renungan : oleh Romo Rusbani Setiawan BS.

Catatan di Penghujung Hari
29 Januari 2017

Sejak Donald Trump terpilih menjadi presiden Amerika, banyak komentar-komentar bernada negatif dan khawatir. Banyak negara menjadi was-was dengan kebijakan yang akan diambil oleh Trump, karena janji-janji kampanye yang pernah diucapkannya dan juga pidato pada saat pelantikannya. Moto “America First” yang dia canangkan bisa berdampak sangat luas dalam rangka kerjasama global. Karena dengan moto itu Trump akan menutup kerjasama dengan negara-negara lain dan mencurigai bentuk kerjasama itu merugikan Amerika. Hal lain yang mencemaskan adalah usaha untuk menembok perbatasan Amerika Serikat – Meksiko untuk menghindari imigran gelap.
Banyak para pemerhati politik dunia mengkritik tajam moto “America First” karena membahayakan dunia. Dengan kebijakannya itu membuat keseimbangan kerjasama negara-negara bisa hancur. Dan jika semua negara berbuat seperti itu yang terjadi adalah kehancuran dunia itu sendiri.
Ada kecenderungan orang untuk semakin sekterian dengan demikian membangun pemisah. Aku berbeda dengan kamu maka aku menolak kamu. Dalam skala yang amat sederhana adanya bentuk “geng-geng” diantara anak-anak menjadi bibit muncul sekterian dan “chauvinism”.
Sri Paus Fransiskus mengutuk keras upaya pembangunan tembok karena bagi Sri Paus dengan membangun tembok pemisah berarti menolak kasih. Kasih itu menghubungkan bukan memisahkan. Dibutuhkan pendidikan karakter membangun “jembatan” dan bukan menciptakan tembok-tembok pemisah. Semakin banyak orang berkarakter pembangun “jembatan” semakin damai dunia ini.

Iwan Roes

Renungan : oleh Romo Rusbani Setiawan BS.
Catatan di Penghujung Hari
28 Januari 2017

Hari ini adalah hari tahun baru Imlek. Maka sudah layak dan sepantasnya kalau mengucapkan selamat tahun baru disertai doa kepada keluarga, sahabat dan rekan-rekan yang merayakannya. Di media social bersliweran ucapan selamat tahun baru dan doa untuk kebahagiaan dan kemakmuran. Ucapan selamat ada yang berupa kalimat sendiri dan atau berupa gambar-gambar yang bagus.
Banyak gambar-gambar bagus ucapan selamat yang sama persis seperti yang diberikan oleh teman lain. Artinya banyak gambar-gambar ucapan itu copy paste entah dari mana asal usulnya. Saat melihat begitu banyak gambar-gambar ucapan yang sama persis bersliweran rasanya seperti melihat meme-meme yang bersliweran. Tidak ada rasa bahwa itu sebagai ucapan. Benarkah mereka yang mengirim gambar-gambar bagus itu bermaksud mengucapkan selamat dengan cara yang mudah dan praktis atau sekedar ingin mengirim gambar-gambar yang bagus.
Mengucapkan selamat dalam peristiwa apapun adalah ungkapan hati dari seseorang kepada orang lain; dan betapa bahagia mereka yang mendapatkan ucapan selamat dan perhatian. Namun ketika itu berupa copy paste, adakah itu mewakili perasaan seseorang?

Iwan Roes

Kamis, 26 Januari 2017

Renungan oleh : Romo Rusbani Setiawan BS
Catatan di Penghujung Hari
26 Januari 2017
Film drama musical yang menarik berjudul “La la land” sekarang sedang beredar di sejumlah gedung bioskop. Film ini menarik bukan hanya karena menyuguhkan lagu-lagu dan tarian yang indah akan tetapi lebih dari itu Film ini mengangkat cerita yang menarik dan inspiratif. La la land berkisah tentang perjuangan orang yang mengejar mimpi. Digambarkan bagaimana para tokoh utama yang mengejar mimpi ini jatuh bangun, bagaimana mereka bergulat dengan daya tahan mereka dan bagaimana mereka harus berhadapan dengan godaan untuk melarikan diri dari mimpi mereka. Dengan tidak menggurui film La la land mendidik para penonton untuk menangkap dan menginternalisasi nilai kehidupan. Mimpi harus dikejar dan diperjuangkan, dan hanya mereka yang punya daya juang dan daya tahan yang tinggi mampu menggapai mimpi.
Kisah inspiratif dan penanaman nilai kehidupan dari film La la land berbanding terbalik dengan apa yang ditampilkan oleh beberapa lembaga penyelenggara pendidikan di negeri ini. Beberapa Minggu ini marak pemberitaan tentang kekerasan di beberapa tempat penyelenggara pendidikan. Dan kekerasan itu berujung dengan kematian. Kisah pilu diangkat oleh Harian Kompas hari ini. Kisah tentang Asyam mahasiswa UII yang meninggal diduga akibat kekerasan para seniornya. Keikut sertaan Asyam dalam kegiatan diksar organisasi pecinta alam UII adalah salah satu sarana yang dia pilih untuk menempa diri dalam rangka menggapai mimpinya. Ia telah mencanangkan mimpinya untuk melanjutkan kuliah di Oxford University. Ia telah menyusun langkah-langkah untuk menggapai mimpi itu. Namun justru sarana untuk menempa diri dari tempat ia menuntuk ilmu telah merenggut mimpinya. Kisah pilu sebagaimana dialami oleh Asyam sudah dialami oleh banyak orang sebelumnya. Tempat-tempat yang dipilih untuk menggapai mimpi telah merenggut mimpi. Sudah sejak beberapa tahun yang lalu didengungkan stop kekerasan di lembaga-lembaga pendidikan, akan tetapi sekarang masih juga terjadi. Alasan yang muncul selalu: “ kami kecolongan".
Penyelenggara pendidikan adalah tempat dimana peserta didik diajak untuk bermimpi, membangun mimpi dan menyiapkan diri dengan memberi bekal ilmu serta cara hidup (way of life) yang bermartabat untuk menggapai menggapai mimpi. Betapa mengerikan dan mengenaskan bila penyelenggara pendidikan justru menjadi tempat dimana peserta didik direnggut mimpinya?

Iwan Roes


Renungan oleh : Romo Rusbani Setiawan BS.
Catatan di Penghujung Hari,
25 Januari 2017
Beberapa murid di sebuah sekolah dalam dua minggu terakhir ini sibuk berlatih untuk menghadapi sebuah perlombaan. Sebenarnya mereka benar-benar berlatih dan menyiapkan diri untuk berlomba hanya dalam minggu terakhir ini. Persiapan dalam waktu seminggu pasti bukan persiapan yang baik. Memang ada kesan pihak sekolah tidak serius untuk mengikuti perlombaan tetapi karena perlombaan diadakan oleh yayasan maka sekolah “terpaksa” ikut. Jadi keikut sertaan sekolah dalam lomba ini hanya sekedar terlibat dari pada tidak. Adalah hak sekolah untuk mengikut sertakan peserta didiknya dalam sebuah lomba atau tidak, dengan berbagai pertimbangan. Perlombaan bukan soal menang kalah, juara atau tidak juara semata, tetapi perlombaan harus dilihat sebagai bagian pendidikan dan penanaman nilai. Ada banyak nilai yang dapat ditanamkan dan diperjuangkan bagi peserta didik dalam perlombaan. Salah satu nilai adalah nilai ksatria; dalam perlombaan perlu persiapan yang baik, butuh perjuangan yang luar biasa, menghargai lawan bertanding dan tidak melihat mereka sebagai musuh, mentaati peraturan pertandingan, dan apabila kalah berani mengakui bahwa lawan lebih baik. Dengan demikian melihat perlombaan selalu dalam kerangka pendidikan.
Daoed Joesoef dalam tulisan di Harian Kompas hari ini di bawah judul “Memikir Ulang Pendidikan” mengatakan: Pendidikan bertujuan mengetahui bukan fakta, melainkan nilai. Adalah suatu keniscayaan, menurut Einstein, bahwa siswa/mahasiswa mendapat pemahaman dan perasaan tentang nilai. Dia perlu memperoleh makna yang jernih mengenai keindahan dan kebaikan moral. Jika tidak dengan pengetahuannya yang spesialistis dia akan lebih mirip dengan a well trained dog than a harmoniously developed person, orang yang berilmu pengetahuan tetapi tanpa karakter yang baik.
Tampaknya para pendidik terjebak dengan tekanan kurikulum sehingga lupa menggali dan memperjuangkan penanaman nilai-nilai bagi peserta didik. Kesadaran para pelaku pendidikan bahwa pendidikan peserta didik adalah pendidikan generasi masa datang. Dengan demikian peserta didik yang adalah generasi masa depan bangsa menjadi korban dari sebuah system pendidikan. 

Iwan Roes

Selasa, 24 Januari 2017

Renungan oleh : Romo Rusbani Setiawan BS

Catatan di Penghujung Hari
24 Januari 2017

Dalam sebuah obrolan dengan seorang ibu, ibu itu bercerita bahwa berdasarkan pengalamannya hal yang paling penting untuk menjaga keharmonisan keluarga adalah komunikasi. Lebih lanjut ibu itu mengatakan dialog antara suami dan istri amat dipengaruhi oleh kedewasaan masing-masing. Karena dengan adanya kedewasaan syarat-syarat agar dialog itu dapat terjadi dengan baik terpenuhi. Ibu itu menuturkan kedewasaan seseorang dalam dialog menuntut kemampuan untuk menempatkan diri sebagai teman yang sejajar dan sederajat, kemampuan untuk mendengarkan bukan hanya mendengar, kemampuan bertukar pikiran tidak memaksakan kehendak dan ada semangat bela rasa. Tanpa itu semua, menurut ibu itu dialog tidak akan terjadi, yang ada adalah monolog bertemu dengan monolog.
Beberapa kali muncul dalam media ajakan dan anjuran untuk mengadakan dialog nasional untuk mengatasi berbagai masalah yang muncul di negeri ini. Ajakan dan anjuran yang amat baik, karena berbagai masalah negeri ini yang mengarah ke perpecahan hanya bisa diselesaikan dengan dialog semua komponen bangsa. Akan tetapi bertolak dari pengalaman seorang ibu di atas mungkinkah dialog nasional dapat terwujud? Adakah kedewasaan tiap komponen bangsa sehingga memungkinkan terwujudnya dialog nasional?
Atau dialog nasional bisa terwujud diantara komponen-komponen bangsa yang mampu berdialog, tetapi tidak bisa mengatasi masalah bangsa ini karena sumber masalah ada pada komponen bangsa yang belum dewasa sehingga tidak mampu untuk berdialog.

Iwan Roes

Senin, 23 Januari 2017

Renungan oleh : Romo Rusbani Setiawan BS.

Catatan di Penghujung Hari 23 Januari 2017
Harian Kompas hari ini memberitakan bahwa Direktur Utama Garuda Indonesia (2005 – 2014) Emirsyah Satar bersedia bersikap kooperatif kepada Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mengungkap kebenaran terkait suap pengadaan mesin pesawat Garuda dari Rolls – Royce Plc. Bersikap kooperatif diartikan bahwa akan mengungkapkan dengan jujur berapa yang dikorupsi dan siapa saja yang terlibat. Berita tentang tersangka kasus korupsi bersikap kooperatif bukan kali ini saja. Bahkan beberapa tersangka bersedia atau mengajukan diri menjadi justice collaborator. Sikap kooperatif para tersangka kasus korupsi mendapat nilai positif dari penegak hokum, bahkan masyarakat pun memberi apresiasi positif, karena akan mengungkap terang benderang atas kasus tersebut. Pertanyaan yang muncul dan mengganjal adalah benarkah sikap kooperatif mereka sebagai sikap yang positif artinya sebuah sikap ksatria berani menanggung segala resiko atas perbuatannya? Sikap-sikap mereka mengingatkan sikap anak-anak sekolah menengah yang ketahuan mencontek. Pada saat ditegur oleh gurunya, mereka menjawab bahwa bukan hanya dirinya yang mencontek tetapi banyak teman, dan ia akan menyebut semua teman yang mencontek. Entahlah, apakah anak-anak meniru sikap orang-orang tua atau orang-orang tua yang meniru sikap anak-anak. Dengan perbandingan itu jelaslah bahwa sikap kooperatif bukan pertama-tama sebuah sikap pahlawan yang membongkar persekongkolan jahat dan juga bukan sikap ksatria yang berani menanggung resiko atas perbuatannya melainkan sebuah tindakan untuk menyelamatkan diri. Semakin sulit menemukan sosok – sosok ksatria di negeri ini. Yang bertebaran adalah sosok – sosok yang mencari selamat untuk diri sendiri, bahkan bila harus mengorbankan orang lain.
 
Iwan Roes

Minggu, 22 Januari 2017


Renungan oleh : Romo Rusbani Setiawan BS. 
Catatan di Penghujung Hari 20 Januari 2017
Dalam sebuah perjumpaan di forum terbatas yang diikuti sekitar 60 orang, seorang pembicara mengajukan pertanyaan kepada peserta dalam forum itu. Pertanyaan yang diajukan adalah menurut anda semua, Tuhan itu siapa? Spontan para peserta langsung memberi jawaban. Hal itu menggembirakan karena menunjukan bahwa semua perserta kenal siapa Tuhan yang mereka Imani. Untuk mengurangi kegaduhan karena jawaban yang bersama-sama tersebut, pembicara meminta peserta satu persatu menjawab. Jawaban semua peserta bagus dan benar dan dengan jawaban itu menunjukan pemahaman dan pengetahuan mereka tentang Tuhan sebagaimana yang mereka dengar, baca atau pelajari. Ketika pembicara mengajukan pertanyaan berikut: “Siapa Tuhan menurut kamu sendiri berdasarkan pengalamanmu akan Tuhan?” Ruangan menjadi hening dan semua peserta tampak mulai serius berpikir. Betapa sering pengetahuan akan Tuhan menjebakku untuk berpikir tentang Tuhan. Aku begitu mudah bercerita tentang Tuhan, semakin banyak buku tentang Tuhan yang kubaca atau pelajaran tentang Tuhan yang kudapat semakin mudah aku bercerita tentang Tuhan. Dan sering kali aku puas dan bangga tentang itu. Bukankah berkaitan dengan Tuhan yang paling utama dan pertama adalah pengalamanku akan Tuhan? Bagaimana Tuhan kualami dalam kehidupanku sehari-hari? Memang berdasarkan pengalaman hidupku sehari-hari akan Tuhan aku tidak dapat menghasilkan rumusan-rumusan yang bagus untuk menjawab siapa Tuhan menurutku. Namun bukankah dengan pengalamanku akan Tuhan dalam hidupku sehari-hari justru menjadi pengalaman yang mengendap dalam diriku sehingga tidak mudah untuk hilang atau dicabut. Seandainya aku selalu terjebak untuk selalu memikirkan Tuhan dan bangga dengan pemikiran-pemikiran itu, jangan-jangan aku beriman juga sejauh dalam pikiran saja?
Iwan Roes

Renungan oleh : Romo Rusbani Setiawan BS. 
Catatan di Penghujung hari 21 Januari 2017
Tadi siang, dalam sebuah acara aku mendengarkan ungkapan kekecewaan seorang bapak. Bapak ini begitu mengagumi Emirsyah Sattar mantan CEO Garuda Indonesia. Bapak ini tidak kenal dan tidak pernah bertemu dengan Emirsyah. Ia kenal lewat berita-berita yang ia baca dan Ia dengar. Ia melihat sosok Emirsyah sebagai sosok yang bersih, CEO yang hebat, CEO yang sering mendapatkan penghargaan, dan CEO yang tidak rakus jabatan terbukti Emirsyah berani mengundurkan diri sebagai CEO Garuda. Membaca dan mendengar berita bahwa Emirsyah menjadi tersangka kasus suap dalam jumlah yang besar, dan juga melakukan penyuapan, membuat bapak ini begitu geram dan marah. Ia merasa tertipu dan terbodohi. Kalau benar nanti terbukti bahwa Emirsyah Sattar melakukan pelanggaran hukum sebagaimana berita yang beredar maka bapak yang bertemu denganku dan ada banyak bapak-bapak atau siapa saja yang lain telah tertipu oleh berita pencitraan yang beredar selama ini. Kalau berita-berita pencitraan itu sengaja dibuat untuk membangun image yang baik dengan tujuan menutupi kejahatannya maka ada kesengajaan untuk membohongi publik. Artinya ada kejahatan moral. Kiranya Emirsyah bukan satu-satunya pejabat di negeri ini yang dengan sengaja menyebarkan berita-berita pencitraan untuk menutupi kejahatan yang telah dilakukannya. Dengan demikian betapa mengerikan negeri ini karena banyak pejabat yang melakukan kejahatan moral dengan menyebarkan berita yang dengan sengaja untuk membohongi dan membodohi mayarakat. Rasanya dalam skala yang kecil betapa sering aku juga melakukan kejahatan moral karena aku membangun topeng-topeng untuk menutupi kejahatanku. Mungkin bukan masyarakat luas yang telah kubohongi tetapi justru orang–orang yang dekat denganku bahkan mereka yang mencintai dan kucintai.
Iwan Roes
Renungan oleh : Romo Rusbani Setiawan BS.
Catatan 23 Januari  2017
Berita harian Kompas hari ini dalam feature Gaya Hidup menampilkan Anggun C Sasmi. Feature mengangkat salah satu sisi dari Anggun yaitu saat paling lemah yang dialaminya. Salah satu momen dalam hidupnya yang dianggap sebagai saat yang paling lemah adalah saat pembuatan album. Alasanya karena tidak ada formula tepat yang dapat membuat album tersebut bakal disukai atau laris. Tidak ada jaminan sama sekali bahwa album tersebut bakal diterima banyak orang. Apa yang dilakukan adalah berusaha sejujur mungkin dalam bermusik dan sejujur mungkin dalam menulis lagu. Kuncinya adalah jujur dalam berkarya. Bagi public figure penampilan menjadi amat penting karena penampilannya akan dinilai oleh banyak orang. Tidak jarang penampilan menjadi penentu bagi kelanjutan karirnya. Oleh karena itu tidak mengherankan kalau banyak public figure fokus pada penampilan. Saat sekarang ini ketika musim kampanye marak di berbagai daerah para calon pemimpin daerah dan para politisi menjadi public figure dadakan. Tidak jarang mereka menyewa orang atau organisasi untuk mengatur dan menata penampilan. Dengan demikian diharapkan penampilan mereka menarik dan “menjual” . Untuk keperluan itu sudah barang tentu membutuhkan biaya yang tidak murah. Masyarakat khususnya para calon pemilih pemimpin daerah disuguhi tampilan para calon yang sudah diatur dan ditata. Artinya dapat diduga semua yang kelihatan adalah hasil polesan. Muncul kesan para calon pemimpin mengikuti selera pasar. Segala sesuatu diatur agar sesuai keinginan pasar dengan harapan dipilih oleh pasar. Pertanyaannya adalah adakah yang jujur dari penampilan mereka? Adakah kejujuran dalam niat dan karya mereka? Betapa mengerikan kalau pemimpin daerah terpilih karena hasil polesan dengan biaya besar. Adakah yang bisa diharapkan dari mereka? 
Iwan Roes


Renungan oleh : Romo Rusbani Setiawan BS.
Catatan di Penghujung Hari
19 Januari 2017
Investigasi Majalah Tempo No. 43 edisi 19-25 Desember 2016 mengangkat soal Obral Izin Sekolah Dokter. Maraknya pembukaan fakultas kedokteran ditengarai karena fakultas kedokteran merupakan lahan bagi universitas untuk meraup untung. Biaya kuliahnya lebih mahal ketimbang program studi lain. Maraknya pembukaan fakultas kedokteran tidak diimbangi dengan terselenggaranya pendidikan kedokteran yang bermutu. Berdasar data Kementrian Pendidikan Tinggi, pada tahun 2015 setengah dari 75 fakultas kedokteran menyandang akreditasi C. Sebagai akibat dari mutu yang kurang baik dari fakultas kedokteran yang menyandang akreditasi C banyak dokter yang tidak lulus ujian kompetensi sebagai syarat bagi calon dokter memperoleh surat tanda registrasi agar boleh menangani pasien. Pada bagian lain Dirjen Pendidikan Tinggi mengatakan bahwa adanya ijin pembukaan fakultas kedokteran baru karena masalah politik (baca: tekanan penguasa).
Banyak media masa baik cetak maupun elektronik memberitakan bahwa diberbagai wilayah Indonesia akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan masih sulit dan tenaga dokter amat kurang.Dibukanya banyak fakultas kedokteran tentu menjadi harapan besar bagi masyarakat akan adanya kemudahan mendapat layanan kesehatan dan adanya pelayanan dari dokter. Namun bila melihat hasil investigasi Majalan Tempo, betapa mengerikan dampaknya bagi pelayanan kesehatan. Fakultas kedokteran sebagai lembaga pendidikan calon dokter seharusnya menghasilkan para dokter yang terdidik dengan baik dan mumpuni dalam bidangnya. Para dokter dalam sumpah hipokrates yang diucapkannya akan mengusahakan kehidupan sejak pada awalnya. Artinya dengan dokter yang terdidik baik dan mumpuni maka akan banyak kehidupan yang dapat diselamatkan. Dokter berurusan dengan kesehatan manusia bahkan dalam arti tertentu berurusan dengan hidup mati manusia. Masyarakat menggantungkan hidup matinya ketika mengalami masalah kesehatan kepada para dokter. Nah, apabila pendirian fakultas kedokteran mengambil jalan pintas dengan mengabaikan berbagai persyaratan untuk menjaga mutu para dokter berapa banyak masyarakat yang akan menjadi korban dari kegagalan pelayanan kesehatan.
Akankah saat berobat ke dokter harus bertanya lulusan fakultas kedokteran Universitas apa? Akankah mempercayakan hidup mati pada dokter “abal-abal”?
Iwan Roes

Kamis, 19 Januari 2017


Jalan Salib Jelang Pembukaan Misa Tirakatan/ Novena 2017
Satu jam menjelang dimulainya misa Tirakatan/ Novena, umat yang hadir melaksanakan ibadat Jalan Salib bersama dengan mengikuti diorama Kisah Sengsara Tuhan Yesus yang ada di Taman Doa Bunda Kristus Tebar Kamulyan Subang.















 
Liputan.....
Pembukaan Misa Tirakatan/ Novena Tahun 2017 di Taman Doa Bunda Kristus "TEBAR KAMULYAN" Subang 
Kamis 19 Januarai 2017

Misa Tirakatan tahun 2017 mengambil Tema umum yaitu " Meneladani Keluarga Kudus Nasaret Berbagi Sukacita", sedangkan sub tema untuk bulan Januari 2017 adalah "Keluarga Sebagai Panggilan dan Perutusan" maka dalam pengantar dan Homilinya Romo Iwan menyoroti makna "Panggilan" dan "Perutusan" dalam keluarga. Romo Iwan sempat melontarkan pertanyaan kenapa disebut panggilan..?
Perlu disadari bahwa siapa yang menjadi pasangan kita baik itu sebagai suami maupun istri adalah pilihan kita, walaupun secara jujur kita mengakui begitu banyak wanita cantik atau pemuda ganteng yang kita temui tetapi kenapa kita menentukan dia untuk menjadi suami/ istri kita, dan ada rasa aman atau bahagia luar biasa kalau ada disampingnya..?. Disitulah terang Ilahi berperan dan itu sebuah panggilan.
Selanjutnya bagaimana perjalanan rumah tangga tentu banyak gesekan masalah atau kesalahpahaman, disitu dibutuhkan kehadiran Allah agar keluarga semakin kokoh berdiri walau banyak sekali cobaan.
Kewajiban berikutnya kita sebagai keluaga adalah bagaimana kita menampakkan hubungan kita sebagai manusia dengan Tuhan... dan kita dengan sesama itu sebagai wujud Perutusan....
Misa ditutup dengan Adorasi. Dikarenakan misa Tirakatan ini merupakan satu rangkaian Novena selama 9 kali maka besar harapan kami secara berturut turut akan lebih banyak lagi umat yang hadir dan memanfaatkan peristiwa ini agar Ujud kita dalam meledani keluarga Kudus Nasaret untuk bergabi sukacita bisa terwujud.
Usai Misa dilanjutkan dengan menikmati nasi liwet bersama di aula..... terima kasih atas kehadirannya...Tuhan memberkati...


 kasih atas kehadirannya...Tuhan memberkati...

berikut kami sajikan rekaman gambar pada saat pelaksanaan :

Rabu, 18 Januari 2017

Renungan oleh : Romo Rusbani Setiawan BS.
Catalan di Penghujung Hari
18 Januari 2017
Berbagai forum dikusi dan berbagai tulisan telah membahas tentang dinasti politik. Hampir semua pembicara dan penulis menyatakan penolakan terhadap dinasti politik. Sebenar nya sudah ada produk Undang-Undang yang melarang dinasti politik, akan tetapi Undang-Undang itu telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Adakah yang salah dengan dinasti politik? Dinasti profesi pada dirinya sendiri tidak salah. sebagai contoh: dinasti guru, dinasti tentara dan sebagainya. Tidak pernah ada yang mempersoalkan soal dinasti guru atau tentara. Dinasti politik dipersoalkan karena terkait dengan usaha melanggengkan kekuasaan dan kecenderungan untuk melanggengkan ketidak baikan juga.
Politik bertujuan untuk kesejahteraan seluruh masyarakat. Kekuasaan adalah salah satu sarana untuk mencapai tujuan politik. Akan tetapi dalam praktek berpolitik, kekuasaan tidak lagi dilihat sebagai sarana untuk mencapai tujuan politik. Kekuasaan dilihat sebagai kedudukan dan prestise yang memberi keuntungan bagi yang berkuasa. Oleh karena itu dalam perebutan kekuasaan dalam politik tidak berdasar pada kesejahteraan masyarakat akan tetapi berdasarkan keuntungan pribadi atau kelompoknya. Dalam perspektif ini dapat dimengerti usaha-usaha untuk melanggengkan dinasti politik. Setelah berkuasa ingin terus berkuasa.
Ketika kekuasaan dalam politik tidak lagi dilihat sebagai salah satu sarana untuk mencapai tujuan politik yaitu kesejahteraan masyarakat maka kekuasaan diperebutkan demi keuntungan pribadi. Dan dengan demikian tidak mengherankan untuk mencapainya tidak jarang dengan menghalalkan segala cara dan masyarakat akan dipandang sebagai alat untuk mencapai kekuasaan. Jika demikian untuk apa politik?

Iwan Roes

Selasa, 17 Januari 2017

Renungan : oleh Romo Rusbani Setiawan BS.
Catatan di Penghujung Hari
17 Januari 2017
Presiden Joko Widodo, sebagaimana diberitakan Harian Kompas hari ini, mengajak semua pihak, termasuk TNI dan Polri mempunyai visi yang sama. Ajakan Presiden ini menunjukkan bahwa banyak pihak termasuk TNI dan Polri sebagai pemeran di negeri ini tidak mempunyai visi yang sama. Ajakan Presiden terasa aneh karena masih muncul di tahun ketiga masa pemerintahannya. Kalau dianalogikan Presiden sebagai konduktor sebuah orchestra dan para pemeran negeri ini sebagai pemain musiknya, betapa mengerikan orchestra itu karena setiap pemain musik bermain sendiri-sendiri semaunya tanpa mempedulikan konduktornya. Dan sudah dapat dipastikan musik yang dihasilkan oleh orchestra itu bukan musik yang enak dan nyaman untuk dinikmati.
Setiap calon pemimpin, baik pemimpin negara maupun pemimpin daerah selalu menyampaikan visi dan misinya dalam masa kampanye. Dan tidak jarang visi dan misi para calon pemimpin ini diuji dalam berbagai forum kampanye. Ketika seorang pemimpin telah terpilih dalam pemilu, maka dengan demikian visi dan misi pemimpin terpilihlah yang berlaku. Semua pemeran pemerintahan harus menyesuaikan diri dengan visi dan misi pemimpin terpilih. Perbedaan pandangan dan lain sebagainya yang terjadi selama masa kampanye seharusnya berakhir. Semua elemen menyatukan diri dengan visi dan misi pemimpin terpilih.
Kemampuan untuk menyatukan diri dengan visi dan misi pemimpin terpilih mengandaikan kedewasaan dalam berpolitik. Berani bertarung berarti siap menang dan siap kalah. Tampaknya yang banyak ditampilkan di panggung politik di negeri ini masih politisi-politisi yang belum sampai pada taraf kedewasaan berpolitik yang dibutuhkan. Kenapa politisi-politisi yang belum sampai pada taraf kedewasaan berpolitik lebih banyak merebut panggung; jangan-jangan banyak orang yang sudah mencapai kedewasaan berpolitik enggan turun kepanggung. Negeri ini membutuhkan semakin banyak orang yang mempunyai kedewasaan berpolitik untuk turun ke panggung, bukan menjadi penonton saja.

Iwan Roes

Senin, 16 Januari 2017

Renungan oleh Romo Rusbani Setiawan BS.
Catatan di Penghujung Hari
16 Januari 2017
Salah satu berita Harian Kompas hari ini mengangkat soal Populisme Mengancam Demokratisasi. Dijelaskan bahwa populisme adalah paham anti kemapanan yang cenderung menutup diri dengan karakter nasionalisme sempit. Mengutip pendapat Herry Priyono diberitakan bahwa populisme adalah gerakan mundur dari globalisasi. Ideologi sempit seperti chauvinisme, nativisme dan keagamaan sempit yang menjadi bagian populisme dijadikan alat politisi meraih keuntungan. Karena sifatnya yang dangkal isme-isme tersebut cenderung anti kemajemukan.
Apa yang dikatakan oleh Herry Priyono tersebut sekarang ini dipertontonkan di panggung politik. Banyak politisi yang menghembuskan isu-isu anti kemajemukan yang mengarah ke SARA demi meraih keuntungan pribadi atau kelompoknya. Dengan demikian essensi dan tujuan politik sudah dihilangkan. Politik bertujuan untuk kesejahteraan bersama (bonum communae). Kekuasaan, partai politik dan sebagainya adalah alat atau sarana untuk mencapai kesejahteraan bersama. Di negeri yang majemuk, kesejahteraan bersama tidak berarti kesejahteraan satu atau dua golongan saja tetapi kesejahteraan semua golongan. Oleh karenanya kalau berpolitik mengedepankan anti kemajemukan berarti meninggalkan keadaban berpolitik. Ketika politisi telah meninggalkan keadaban berpolitik apa yang akan dicapai?
Sudah barang tentu tidak semua politisi meninggalkan keadaban dalam berpolitik, namun apa yang terjadi, mereka yang meninggalkan keadaban bersuara lebih keras dan lebih banyak merebut panggung. Butuh kesadaran dan keberanian bersama untuk menampilkan wajah politik yang beradab.
Iwan Roes
AYO HADIRI 
PEMBUKAAN MISA TIRAKATAN/ NOVENA
TAHUN 2017 
di Taman Doa Bunda Kristus "TEBAR KAMULYAN" Subang - Jawa Barat

 

Minggu, 15 Januari 2017


Renungan : oleh Romo Rusbani Setiawan
Catatan di Penghujung Hari
15 Januari 2017
Berita harian Kompas hari ini dalam berita tentang debat tiga pasangan calon Gubernur DKI mengutip pendapat Triyono Lukmantoro yang memberikan penilaian bahwa banyak netizen yang aktif memberikan komentar belum diimbangi dengan kedalaman pendapat mereka. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa sebagian pengguna internet cenderung menyoroti tampilan fisik dan kelemahan calon tetapi belum sampai ke program yang ditawarkan. Tampaknya cara melihat peristiwa atau sesuatu hanya sebatas fenomena atau yang nampak di permukaan semakin menggejala pada masa sekarang ini. Banyak orang merasa cukup puas dengan hal-hal yang tampak dipermukaan , hal-hal yang lebih dalam sering dilupakan atau diabaikan. Betapa banyak keputusan-keputusan yang bersifat pragmatis yang sekarang ini disodorkan ketengah masyarakat. Artinya hal-hal yang mendasar atau akarnya tidak tersentuh. Dengan demikian banyak masalah tidak bisa diselesaikan dengan baik karena yang diselesaikan hanya fenomenanya atau yang nampak dipermukaan.
Ada pepatah bahasa latin berkaitan dengan belajar yaitu non multa sed multum yang berarti bukan banyak tetapi mendalamnya, dan non scolae sed vitae discimus yang berarti kita belajar untuk hidup bukan sekedar untuk nilai. Pepatah yang pertama menegaskan pentingnya memperdalam sesuatu dalam belajar bukan berapa banyak yang dipelajari, sedang pepatah yang kedua menekankan motivasi belajar, belajar bukan untuk mendapatkan nilai tetapi belajar adalah belajar hidup, belajar untuk mendapatkan bekal menghadapai kehidupan. Mencermati pendidikan dasar dan menengah yang terjadi sekarang ini tampaknya dua pepatah itu tidak berlaku. Sekarang ini peserta didik diberi banyak pelajaran sebagai akibatnya tidak ada pendalaman dalam belajar. Disamping itu peserta didik terpukau dengan nilai bukan manfaat dari pelajaran untuk hidup mereka. Bahkan ada banyak sekolah pada semester genap hanya fokus mempersiapkan peserta didiknya untuk menghadapai Ujian Nasional.
Kalau hal seperti itu yang terjadi dalam dunia pendidikan kita, maka tidak mengherankan kalau banyak orang mudah terpukau dengan fenomena atau hal-hal yang tampak dipermukaan dan enggan untuk mencari akar dari apa yang tampak. Tidak ada kemampuan dan sarana untuk melakukannya.
Seharusnya pendidikan yang tidak diberikan di sekolah akan diberikan di rumah. Akankah yang seharusnya itu terjadi ? atau kita kembali terjebak dengan “seharusnya”
Iwan Roes
Renungan : oleh
Romo Rusbani Setiawan BS.