Selasa, 28 Maret 2017

Renungan oleh : Romo Rusbani Setiawan BS.
Catatan di Penghujung Hari
28 Maret 2017

Pada hari ini saudara-saudari kita Umat Hindu Bali merayakan Hari Raya Nyepi. Hari Raya Nyepi adalah perayaan tahun baru Saka. Pada hari Raya Nyepi suasana seperti mati. Tidak ada kesibukan aktivitas seperti biasa. Pada hari ini umat Hindu melaksanakan "Catur Brata" Penyepian yang terdiri dari amati geni (tiada berapi-api/tidak menggunakan dan atau menghidupkan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bepergian), dan amati lelanguan (tidak mendengarkan hiburan). Serta bagi yang mampu juga melaksanakan tapa (puasa atau mati raga), brata (pengekangan hawa nafsu) , yoga (menghubungkan jiwa dengan Tuhan), dan semadhi (menyatukan diri denganTuhan), yang tujuan akhirnya adalah kesucian lahir batin). Melakukan Catur Brata adalah mengundurkan diri dan berhenti sejenak dari segala aktifitas harian dalam peziarahan hidup. Mengundurkan diri dari keramaian untuk masuk ke dalam diri dan berhenti untuk memeriksa kesadaran dan meneliti gerak batin selama 1 tahun perjalanan. Agar dengan demikian tidak kehilangan arah dan tujuan hidup. Sadar akan apa yang dipilih dan dijalani sungguh hanya demi pengabdian, pujian dan penghormatan pada Allah.
Manusia adalah makhluk yang dipenuhi dengan nafsu. Nafsu amat dibutuhkan dalam kehidupan manusia, karena dengan adanya nafsu maka menjadikan manusia mempunyai gairah dalam menjalani peziarahan hidup dan memungkin manusia mempunyai mimpi dan mampu untuk mewujudkan mimpi itu. Namun demikian nafsu-nafsu itu harus dapat diatur dan dikendalikan, karena kalau tidak maka akan membakar manusia itu sendiri dan berujung pada manusia kehilangan kemanusiaanya. Pada masa sekarang ini banyak orang di negeri ini yang sedang memamerkan perilaku orang-orang yang terbakar oleh nafsu. Dalam peribahasa jawa mereka baru memamerkan sifat adigang, adigung dan adiguna. Adigang adalah sifat yang mengandalkan dan menyombongkan tentang kekuatan badan dan fisik. Adigung adalah sifat yang meninggikan pangkat, jabatan, derajat, keluhuran, dan keturunan kebangsawanan. Adiguna adalah sifat yang mengutamakan kepandaian dan akal. Akibatnya mereka sudah lupa akan arah dan tujuan hidup. Tutur kata selalu berlawanan dengan tindakannya, apa yang dikatakan saat ini, beberapa saat kemudian telah berubah, “esuk dhele sore tempe” (pagi masih berupa kedelai sore sudah jadi tempe). Mereka telah dimabukkan dengan pemuasan nafsunya, sehingga mereka sudah tidak tampak sebagai manusia lagi. Apa yang terungkap dan terlihat tidak menampakkan buah akal budi dan hati.
“Nyepi” adalah kebutuhan setiap orang, karena dengannya manusia mampu memurnikan diri untuk selalu mengarah pada tujuan dia diciptakan. Namun hanya mereka yang mampu mendengarkan gerak batin yang mendengar panggilan “nyepi”

Iwan Roes

Senin, 27 Maret 2017

jangan lupa hadir di acara :
"Misa Tirakatan/ Novena III Tahun 2017"
di Taman Doa Bunda Kristus "TEBAR KAMULYAN"
Subang - JAWA BARAT, Kamis 30 Maret 2017

 
Renungan : oleh Romo Rusbani Setiawan BS.
Catatan di Penghujung Hari
26 Maret 2017

Apatis
Pada jaman sekarang ini, hand phone(HP) sudah menjadi barang kebutuhan pokok bagi banyak orang. HP tidak lagi menjadi barang mewah, sehingga hampir tidak ada orang yang tidak menggunakan HP, mulai dari anak-anak hingga orang-orang lanjut usia. Di mana-mana nampak orang menggunakan HP, baik untuk berkomunikasi atau sekedar untuk mendapatkan hiburan. Bahkan HP menimbulkan kesibukan baru bagi banyak orang.
Kehadiran HP sebagai alat komunikasi dan sekaligus sarana hiburan memberikan dampak positif bagi masyarakat. HP memudahkan komunikasi antar pribadi, memudahkan mendapatkan informasi dengan cepat dan bahkan memudahkan dalam urusan-urusan pekerjaan. Namun demikian tidak dapat dipungkiri dampak negatif yang ditimbulkan dengan kehadiran HP tidak kurang dari dampak positifnya, bahkan kalau tidak hati-hati dampak negatifnya lebih kuat. Ada ungkapan satire yang mengatakan HP mendekatkan yang jauh tetapi menjauhkan yang dekat. Dampak negatif yang langsung dapat dilihat adalah HP telah menyita perhatian banyak orang. Banyak pemandangan dimana orang berkumpul tetapi masing-masing sibuk dengan HP. Akibat fokusnya tersita oleh HP banyak orang pengguna HP cenderung menjadi pribadi yang apatis. Apatis adalah istilah psikologi untuk keadaan cuek atau acuh tak acuh; dimana seseorang tidak tanggap atau “cuek” terhadap aspek emosional, sosial, atau kehidupan fisik. Sikap apatis yang berkembang di masyarakat akan membahayakan masyarakat itu sendiri. Kata masyarakat merupakan terjemahan kata society. Kata society berasal dari bahasa latin, societas, yang berarti hubungan persahabatan dengan yang lain. Societas diturunkan dari kata socius yang berarti teman, sehingga arti society berhubungan erat dengan kata sosial. Secara implisit, kata society mengandung makna bahwa setiap anggotanya mempunyai perhatian dan kepentingan yang sama dalam mencapai tujuan bersama. Berdasarkan arti kata masyarakat maka sikap apatis membahayakan struktur masyarakat dan bisa menghancurkan masyarakat.
Pada dasarnya manusia adalah mahkluk sosial maka setiap manusia tidak dapat dipisahkan dari pribadi lainnya. Maka kesadaran pentingnya perjumpaan dan hubungan antar pribadi kiranya membantu setiap orang untuk menyadari betapa bahaya sikap apatis yang ditimbulkan dari dampak negatif HP.
Teknologi untuk manusia dan bukan manusia untuk teknologi


Iwan Roes
Renungan : oleh Romo Rusbani Setiawan BS.
Catatan di Penghujung Hari
24 Maret 2017

Sudah sejak beberapa tahun yang lalu beberapa telivisi swasta menyelenggarakan ajang pencarian bakat. Banyak orang yang tertarik untuk mengikuti ajang tersebut dan banyak orang pula yang menonton acara itu. Sehingga program televisi itu menjadi acara favorit dan tentu saja menaikkan rating. Apa yang dihasilkan oleh ajang itu adalah seseorang dengan kemampuan tertentu dengan cara yang cepat menjadi idola; orang yang dikagumi, dicintai dan di puja banyak orang. Menjadi idola itulah yang magnet bagi banyak orang untuk mengikuti acara tersebut; apalagi menjadi idola dalam waktu yang cepat. Virus idola ini begitu cepat menyebar sehingga banyak orang melakukan berbagai hal agar menjadi idola. Oleh karena itu banyak orang selalu ingin tampil dan mendapat pujian. Untuk bisa menjadi idola atau minimal bisa menunjukkan diri dan mendapat pujian tidak jarang orang menghalalkan segala cara.
Budaya instan dan budaya idol menjadikan orang cenderung hidup dalam hingar bingar. Mereka ingin segala sesuatu ditunjukkan kepada khalayak dan ingin selalu mendapatkan pujian dari khalayak. Akibatnya tanpa disadari mereka akan jatuh pada kebiasan untuk melakukan sesuatu harus mendapat pujian atau dilihat oleh khalayak. Ada yang tidak disadari bahwa budaya instan dan budaya idol cepat berlalu dan hilang seperti asap diterbangkan angin. Dalam kenyataan hidup di masyarakat, tokoh-tokoh perubahan dan pembaharu bukanlah orang-orang yang hidup dalam hingar bingar dan menunjukkan apa yang dikerjakan kepada khalayak untuk mendapatkan pujian. Mereka memilih menempuh jalan sunyi. Mereka adalah orang-orang yang dengan tekun dan setia menjalankan hal-hal yang kecil mungkin diremehkan orang tetapi membawa dampak luar biasa bagi kehidupan. Fokus hidup mereka adalah keprihatinan akan persoalan-persoalan yang terjadi dalam kehidupan. Dalam kesunyian mereka hadir di dalam dan bagi kehidupan masyarakat. Karenanya tidak banyak orang yang memilih jalan ini.
Keprihatinan akan sesuatu di sekitarnya menjadikan dia resah, keresahan menghasilkan kehendak, kehendak yang kuat menghasilkan keputusan untuk bertindak. Keprihatinan yang mendalam menjadikan keputusan bertindak yang diwarnai hasrat yang membakar dirinya. Maka orang-orang itu menempuh jalan sunyi dengan penuh kebahagiaan. Benarlah ungkapan cinta telah menghanguskan dirinya.
Ketika jaman ini diwarnai budaya instan dan idol semoga tidak menjadikan negeri ini kehilangan orang-orang yang berani menempuh jalan sunyi sehingga pembaruan dan perubahan tetap selalu ada.

Iwan Roes

Rabu, 22 Maret 2017

Renungan : oleh Romo Rusbani Setiawan BS.
Catatan di Penghujung Hari
22 Maret 2017

Terlilit Kontrak Politik
Berita tentang pilkada DKI putaran kedua masih mewarnai berita-berita baik berita cetak, elektronik, online, maupun media sosial. Beberapa waktu yang lalu di media sosial beredar berita berkaitan dengan adanya kontrak politik antara salah satu pasangan calon Gubernur DKI dengan golongan tertentu. Berita itu mendapatkan banyak tanggapan dari netizen, baik komentar positif maupun komentar yang negative.
Setiap calon pemimpin masyarakat, baik itu pemimpin negara dan daerah seharusnya dengan sendirinya tanpa pernyataan apapun sudah membuat kontrak politik dengan seluruh masyarakat yang akan dilayaninya. Kontrak politiknya adalah mengabdi dan melayani masyarakat untuk mencapai kesejahteraan bersama. Artinya ada atau tidak ada selembar kertas pernyataan, kontrak politik telah terjadi. Namun kontrak politik bukan dengan satu atu dua golongan tetapi kontrak politik dengan seluruh masyarakat yang akan dilayaninya. Oleh karena itu amat disayangkan kalau demi meraih dukungan pasangan calon pemimpin masyarakat membuat kontrak politik dengan golongan tertentu.
Apa yang salah dengan membuat kontrak politik? Sebagaimana dalam kampanye para calon pemimpin masyarakat mengumbar janji demikian juga mengumbar kontrak politik adalah bagian dari dinamika dan strategi untuk meraup suara. Pada sudut pandang itu tidak ada yang salah dengan adanya kontrak politik. Persoalan pelunasan janji atau kontrak politik adalah persoalan yang lain. Ketika calon pemimpin masyarakat membuat janji dengan golongan tertentu ada kekhawatiran pemimpin masyarakat menjadi tersandera oleh golongan tertentu sehingga lupa bahwa mereka adalah pemimpin dan pelayan seluruh masyarakat bukan pelayan golongan tertentu. Kontrak politik dengan golongan tertentu sering kali menjadi semacam perjanjian dengan setan. Dalam cerita-cerita tentang perjanjian dengan setan, mereka yang mengadakan perjanjian dengan setan akan mendapatkan apa yang diinginkannya tetapi harus menyediakan tumbal yang rutin untuk membayar apa yang telah diterimanya. Sebagaimana mereka yang membuat perjanjian dengan setan focus pada apa yang diinginkannya dan melupakan resiko yang akan ditanggungnya demikian juga para calon pemimpin masyarakat yang mengikat kontrak politik dengan golongan tertentu.
Pemimpin dan pelayan masyarakat adalah amanah yang mulia dan sekaligus jabatan dan kedudukan yang menggiurkan. Maka tidak jarang banyak para calon yang terlena dengan yang menggiurkan itu sehingga menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya, meski dengan “menumbalkan” mereka yang dilayaninya. Jika demikian pantaskah mereka dipilih sebagai pemimpin dan pelayanan masyarakat?


Iwan Roes

Selasa, 21 Maret 2017

Renungan : oleh Romo Rusbani Setiawan BS
Catatan di Penghujung Hari
21 Maret 2017

Beberapa waktu yang lalu saat beberapa tempat di Kota Bandung dan beberapa tempat di Jawa Barat ditimpa musibah banjir, Salah satu pejabat pemerintah di Propinsi Jawa Barat mengatakan bahwa musibah banjir yang terjadi di beberapa tempat karena curah hujan yang tinggi. Maka beliau mengajak masyarakat untuk berdoa agar curah hujan tidak tinggi, sehingga tidak terjadi bencana banjir. Pernyataan pejabat Pemerintah Propinsi Jawa Barat tidak salah dan menunjukkan sikap sebagai orang beriman. Logika sederhana benar karena curah hujan yang tinggi maka terjadi bencana banjir, seandainya curah hujan tidak tinggi maka tidak terjadi bencana banjir. Sebagai orang beriman melihat bahwa tinggi rendahnya curah hujan ada pada kuasa Allah maka mohon agar Allah tidak memberi curah hujan yang tinggi sehingga bencana banjir tidak terjadi.
Kendati pernyataan pejabat Pemerintah Propinsi Jawa Barat tidak salah namun amat disayangkan bahwa pernyataan itu keluar dari seorang pejabat. Pernyataan itu bisa menjerumuskan pada sikap iman yang fatalistic. Artinya sikap beriman penuh pada Allah, berserah pada Allah dan melihat segala kejadian adalah kehendak Allah dan diterima begitu saja. Sikap beriman yang fatalistic cukup berbahaya karena mengabaikan salah satu rahmat Allah yang besar dan khas bagi manusia yaitu daya-daya kemanusiaan, seperti bernalar, mengembangkan diri, kebebasan dan lain sebagainya. Ketika daya-daya kemanusiaan itu diabaikan maka manusia cenderung untuk tidak berjuang dan pasrah menerima segala sesuatu sebagai takdir. Sikap semacam itu menjadikan manusia bukan manusia lagi. Menggunakan dan mengembangkan daya-daya kemanusiaan merupakan wujud rasa syukur, pujian, penghormatan dan pengabdian kepada Allah. Dengan kebebasannya manusia dimampukan untuk memilih dengan cara apa dan bagaimana menggunakan dan mengembangkan daya-daya kemanusiaan anugerah dari Allah agar dengan cara itu dirinya semakin mewujudkan syukur, pujian, penghormatan dan pengabdian kepada Allah.
Kembali pada contoh persoalan banjir. Sebagai orang beriman tidak cukup hanya memohon agar Tuhan tidak memberi curah hujan yang tinggi. Akan tetapi dengan daya-daya kemanusiaannya manusia mencari akar penyebab banjir dan mencari jalan keluar agar meskipun curah hujan tinggi tidak terjadi banjir, tetapi melihat curah hujan yang tinggi sebagai rahmat.
Agar manusia yang beriman tidak terjebak dalam ekstrem satu pihak sikap beriman yang fatalistic dan sikap beriman yang mengagungkan kemanusiaan melupakan Allah maka St. Ignatius Loyola mengatakan bahwa manusia dalam segala tindakan hendaknya sadar bahwa 100 persen apa yang kulakukan tidak pernah akan terjadi tanpa perjuangan maksimal menggunakan daya-daya kemanusiaanku tetapi pada saat yang sama percaya bahwa 100 persen apapun tidak akan terjadi tanpa kehendak dan rahmat Allah.

Iwan Roes

Senin, 20 Maret 2017

Renungan : oleh Romo Rusbani Setiawan BS.
Catatan di Penghujung Hari
20 maret 2107

Berita harian Kompas yang terbit hari ini di bawah judul Kerusakan Lingkungan Masif memberitakan bahwa intensitas dan skala bencana hidrometeorologi, meliputi banjir, longsor, kekeringan, hingga kebakaran hutan dan lahan, terus meningkat. Perubahan cuaca hanya memicu, tetapi penyebab utamanya adalah kerusakan lingkungan yang masih akibat penurunan daya dukung lingkungan. Rata-rata kerugian akibat bencana ini per tahun sekitar 30 triliun rupiah, tetapi bisa lebih tinggi jika terjadi bencana skala besar. Penyebab utama dari semua bencana ini adalah keserakahan manusia. Alam telah dieksploitasi secara besar-besaran, manusia merasa sebagai penguasa alam sehingga merasa berhak untuk mengeksploitasinya. Sayangnya eksploitasi alam hanya menguntungkan segelintir manusia saja secara khusus para pemilik modal sedangkan mereka yang kecil, lemah dan miskin sebagai penanggung akibatnya.
Saya berandai-andai, kalau saja kearifan-kearifan lokal yang mewujud dalam mitos dan hukum adat dipatuhi dan dihidupi mungkin kerusakan lingkungan bisa dicegah atau minimal dikurangi. Seperti adanya hukum adat di Timor-Timur (Timor Leste sekarang) kalau orang mau menebang pohon cendana harus meminta ijin tetua adat dan akan bersama-sama mengukur diameter pohon. Hanya pohon dengan diameter tertentu (pertanda sudah tua) boleh ditebang, dan penebang harus telah menanam lebih dari satu tanaman pengganti. Namun ketika ada pabrik pengolahan kayu cendana maka hukum adat itu tidak lagi berlaku yang berlaku adalah hukum ekonomi akibatnya pada tahun 1993 ketika saya tinggal di sana kayu cendana sulit untuk ditemukan.
Paus Fransiskus dalam seruan pastoral Laudato Si mengutip pernyataan Patriarkh Ekumenis Bartolomeus tentang perlunya setiap orang bertobat dari cara memperlakukan planet ini. Beliau mengatakan:” Sekecil apa pun kerusakan ekologis yang kita timbulkan, kita dipanggil untuk mengakui kontribusi kita, kecil atau besar, terhadap luka- luka dan kerusakan alam ciptaan. Bila manusia menghancurkan keaneka- ragaman hayati ciptaan Tuhan; bila manusia mengurangi keutuhan bumi ketika menyebabkan perubahan iklim, menggunduli bumi dari hutan alamnya atau menghancurkan lahan-lahan basahnya; bila manusia mencemari air, tanah, udara, dan lingkungan hidupnya semua ini adalah dosa. Sebab kejahatan terhadap alam adalah dosa terhadap diri kita sendiri dan dosa terhadap Allah.” Rasanya aneh dan tidak berguna untuk jaman ini membicarakan dosa dan tidak dosa. Namun kiranya yang paling penting setiap dari kita menyadari dampak yang sekarang kita rasakan akibat kerusakan lingkungan. Butuh ketegasan pemerintah dan aparat hukum untuk menindak tegas korporasi-korporasi yang mengeksploitasi alam. Dan dalam skala kecil setiap dari kita mengurangi kontribusi merusak lingkungan.
“Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena Saudari kami, Ibu Pertiwi, yang menopang dan mengasuh kami, dan menumbuhkan berbagai buah-buahan, beserta bunga warna-warni dan rerumputan”. Semoga doa Gita Sang Surya dari St. Fransiskus Asisi menjadi doa kita syukur atas alam semesta yang mewujud dalam tidakan nyata mengurangi kontribusi kita atas perusakan alam semesta dan memberikan kontribusi nyata untuk merawat dan melestarikannya.

Iwan Roes

Minggu, 19 Maret 2017

Renungan : oleh Romo Rusbani Setiawan BS
Catatan di Penghujung Hari
18 Maret 2017

Dalam berita foto harian Kompas hari ini di bawah judul KPK Periksa Kembali Choel, menampilkan foto Andi Zulkarnaen Mallarangeng alias Choel Mallarangeng, tersangka dugaan korupsi proyek pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan dan Sekolah Olah Raga Nasional (P3SON) Hambalang, memakai rompi orange tersenyum gagah sambil melambaikan tangan. Melihat foto tersebut kesan yang muncul seperti melihat foto seorang pejabat yang menyapa masyarakat atau seorang pesohor yang menyapa penggemarnya. Bukan kali ini saja ada berita foto tentang para tersangka kasus korupsi yang tampil bak pesohor. Tampilan mereka yang seperti itu tidak jarang menimbulkan kegeraman karena dengan gaya seperti itu seolah-olah tidak ada rasa malu dan penyesalan atas apa yang telah diperbuat. Pertanyaan besar benarkah mereka sudah tidak punya rasa malu dan rasa bersalah lagi?
Rasa malu, rasa bersalah yang berujung pada sikap penyesalan muncul dari kesadaran gerak batin. Menyadari gerak batin menuntut sebuah kejujuran terhadap diri sendiri dan kesediaan untuk menatap diri sendiri. Dalam berbagai perjumpaan ketika bicara soal bagaimana menyadari gerak batin mengalami berbagai kesulitan. Banyak orang terutama orang muda sekarang amat sulit untuk menyadari dan mengidentifikasi perasaannya terutama perasaan-perasaan yang lembut, tidak spektakuler. Sering kali ketika ditanya apa perasaanya, jawaban yang muncul biasa aja. Artinya kepekaan akan apa yang bergerak dalam batinnya lemah. Namun, di sisi lain banyak orang sekarang ini amat ekspresif, mudah senang, mudah galau dan cemas. Menonjolnya kegitan berpikir dan menalarkan segala sesuatu menjadi salah satu sebab kepekaan akan rasa dan gerak batin lemah. Sifat yang ekspresif muncul sebagai buah penalaran bukan pada kesadaran akan perasaan sedang mudah galau dan cemas merupakan buah dari ketidak mampuan untuk menalarkan hal sedang dihadapi.
Akibat besar yang terjadi adalah banyak orang menjalani hidup terjebak dalam sebuah rutinitas atau ritual tertentu tanpa ada kesadaran akan apa yang dijalaninya.
St. Ignatius dari Loyola mengajarkan refleksi, yaitu usaha menyadari, sikap, tingkah laku, tutur kata, dan tanggapanku atas pengalaman. Dengan itu aku berusaha untuk menangkap gerak batin atau hati. Dengan refleksi orang diajak untuk selalu menyadari pengalaman dan perasaan atau gerak batin yang mengiringi pengalaman itu. Orang diajak untuk melihat dan meneliti berbagai pilihan-pilihan dan keputusan-keputusan mengalami kembali perasaan yang mengiringi ketika pilihan atau keputusan itu diambil dan meneliti dampak dari keputusan itu bagi diri dan orang lain. Ketika orang mau merefleksikan pengalaman hidupnya maka orang akan masuk dalam kepekaan atas gerak batinnya dan semakin kenal dengan cara apa dan bagaimana roh baik atau roh jahat mempengaruhi hidupku. Dengan demikian orang menjadi sadar akan hidupnya, sadar akan tujuan hidupnya dan sadar akan saran-sarana terbaik yang dipilhnya.
Rasa malu, rasa bersalah dan matinya nurani terjadi karena orang tidak mau lagi menyadari perasaan dan gerak batinnya tetapi sibuk membuat penalaran-penalaran (rasionale-rasionale) atas pengalaman hidupnya.

Iwan Roes
Renungan oleh : Romo Rusbani Setiawan BS.
Catatan di Penghujung Hari
17 Maret 2017

Berita harian Kompas hari ini di bawah judul Mengecor Kaki hingga Bertemu Presiden memberitakan perjuangan petani Kendeng di depan Istana Medeka. Para petani itu rela menyiksa diri memasung kaki dengan semen sebagai bentuk penolakan terhadap pembangunan pabrik semen di pegunungan Kendeng. Para petani Kendeng khawatir dengan adanya pembangunan pabrik semen akan merusak lingkungan yang dampaknya akan ditanggung oleh masyarakat banyak. Maka perjuangan mereka bukan hanya perjuangan untuk kepentingan mereka sendiri tetapi perjuangan untuk kelestarian lingkungan. Pihak PT. Semen Indonesia mengatakan bahwa mayoritas warga sekitar pabrik mendukung keberadaan pabrik semen.
Berhadapan dengan situasi pro kontra semacam itu tentu dibutuhkan dialog dengan semua pihak. Dalam proses dialog yang sering hilang adalah kejujuran dan keterbukaan semua pihak. Pihak pabrik semen hendaknya dengan jujur dan tebuka menjelaskan dampak yang mungkin terjadi dengan adanya penambangan pegunungan karst bagi ekosistem di daerah pegunungan Kendeng. Jangan hanya bicara soal keuntungan yang didapat oleh masyarakat sekitar. Belajar dari kasus pembukaan lahan sawit di Kalimantan Barat. Para pengelola perkebunan sawit menggunakan segala cara untuk mengkampanyekan keuntungan apabila rakyat menyerahkan lahannya untuk perkebunan sawit. Keuntungan-keuntungan ekonomi yang menggiurkan ditawarkan agar masyarakat menyerahkan lahannya untuk perkebunan sawit. Namun masyarakat tidak pernah atau kurang mendapatkan pemahaman tentang dampak ekosistem dengan adanya perkebunan sawit. Akibatnya banyak masyarakat menyerahkan lahannya untuk perkebunan sawit karena tergiur oleh keuntungan ekonomi yang dikampanyekan tanpa memikirkan dampaknya. Dan lihatlah apa yang terjadi dengan daerah-daerah perkebunan sawit dan betapa menderitanya masyarakat di sana.
Kembali soal pegunungan Kendeng, hendaknya pemerintah daerah pertama-tama berpihak pada masyarakat dan lingkungan sampai terbukti bahwa pembangungan pabrik semen tidak punya dampak kerusakan lingkungan dalam jangka panjang.
Titik pijak dialog adalah kesejahteraan masyarakat banyak bukan hanya pada masa kini tetapi juga untuk generasi mendatang. Jangan sampai pemikiran-pemikiran pragmatis mengalahkan pemahaman yang luas dan mendalam. Pemerintah akan berganti, petinggi dan pejabat pabrik semen akan berganti, tetapi masyarakat di pegunungan Kendeng turun temurun tinggal di sana. Bila ada dampak kerusakan lingkungan masyarakatlah yang akan menerima akibatnya.
Penyelesaian pragmatis dan keuntungan jangka pendek seringkali memberi akibat panjang bagi kehidupan.

Iwan Roes

Kamis, 16 Maret 2017

Renungan : oleh Romo Rusbani Setiawan BS
Catatan di Penghujung Hari
16 Maret 2017

Beberapa hari ini, baik di media cetak maupun media sosial ramai berita mengenai upaya “menyerang balik” KPK setelah dalam tuntutan jaksa tipikor menyebut banyak anggota DPR dan para petinggi partai terkait dengan kasus korupsi KTP elektronik. Upaya “menyerang balik” KPK antara lain adalah usaha merivisi UU KPK, dimana DPR sudah melakukan sosialisasi tentang revisi UU dan usaha DPR untuk mengusulkan hak angket yang dipelopori politisi dan wakil ketua DPR Fahri Hamzah. Upaya-upaya “menyerang balik” dan melemahkan KPK mendapatkan banyak tanggapan dari para netizen yang intinya mereka memberi dukungan kepada KPK untuk menuntaskan kasus KTP elektronik dan kasus-kasus korupsi yang lain.
Negeri ini adalah negeri yang mudah gaduh, setiap ada kebijakan dan tindakan pemerintah selalu menyulut kegaduhan. Kegaduhan berbagai macam sikap tanggapan baik dari pihak yang setuju dan atau diuntungkan dengan kebijakan dan tindakan pemerintah maupun dari pihak yang tidak setuju dan atau dirugikan. Bahkan media, sebagai sumber informasi terjerumus dalam kegaduhan dan terbelah pada dua sisi yang setuju dan tidak setuju. Sikap kritis terhadap kebijakan dan atau tindakan pemerintah amat dibutuhkan agar negara berjalan sebagaimana mestinya. Namun apa yang mendasari dan mendorong sikap kritis itu harus bertolak dari dasar yang sama. Pemerintah sebagai penyelenggara negara adalah pelayan masyarakat berkewajiban membuat kebijakan dan tindakan-tindakan untuk kesejahteraan bersama seluruh masyarakat. Para kritikus berpijak pada kepentingan tercapainya kesejahteraan bersama seluruh masyarakat. Kalau titik tolaknya sama yaitu kesejahteraan bersama seluruh masyarakat seharusnya tidak terjadi kegaduhan dan masyarakat diuntungkan. Namun dalam prakteknya para Pemerintah dan kritikus seringkali tidak mewakili kepentingan kesejahteraan bersama seluruh masyarakat tetapi mewakili kepentingan pribadi dan golongannya. Maka yang terjadi adalah kegaduhan karena tidak mencari jalan keluar tetapi perang kekuatan dan perang pengaruh.
Bercermin dari kegaduhan berkaitan upaya KPK memberantas korupsi rasa-rasanya banyak pihak di negeri ini tidak suka kalau negeri ini dikelola oleh orang-orang yang bersih, jujur dan berorientasi pada kesejahteraan bersama seluruh masyarakat. Seumpama dalam komunitas maling, maka dia yang tidak setuju dengan tindakan para maling maka dia akan disingkirkan dengan berbagai macam cara agar tidak mengganggu kenyamanan para maling.
Negeri ini bukan negeri para maling maka mereka para penyelenggara negara yang jujur, bersih dan berorientasi pada kesejahteraan bersama seluruh masyarakat harus berani lebih tegas menunjukkan taji untuk memberantas para pemburu kepentingan pribadi dan golongan. Memang demikianlah sifat roh jahat ketika dibiarkan maka akan berkoar-koar dan terus merorong akan tetapi bila dihadapi dengan tegas maka akan diam dan lari tunggang langgang.

Iwan Roes

Rabu, 15 Maret 2017

Renungan : oleh Romo Rusbani Setiawan BS
 
Catatan di Penghujung Hari
15 Maret 2017

Dalam sebuah perjumpaan dengan seorang sahabat yang memiliki hobi fotografi dan traveling, ia mensharingkan kegelisahannya. Kegelisahan yang muncul ketika berhadapan dengan pertanyaan ratusan foto atau bahkan ribuan foto hasil perjalanan itu untuk apa? Berapa banyak uang yang telah dihabiskan untuk semua itu. Jawaban yang paling mudah yang ia katakan adalah:” sebodo amat orang mau mengatakan apa, tetapi aku senang dan menikmati semua perjalanan dan aktifitas fotografi maka sulit bagiku untuk tidak pergi dan memotret.” Namun jawaban itu tetap tidak bisa menghilangkan kegelisahannya.
Ia mesharingkan pengalaman perjalanannya, “ ketika aku melihat alam atau orang dalam perjalananku sering aku merasakan perasaan yang luar biasa, pengalaman kekaguman dan syukur yang menggetarkan yang tidak bisa aku ungkapkan dengan cerita. Aku mengabadikan apa yang aku lihat dan aku abadikan dalam sepotong gambar.” Bagaimana ekspresi dia bercerita, menggambarkan bahwa ia mengalami keterpesonaan dan cinta yang mendalam. Maka sepotong gambar yang dihasilkannya merupakan ekspresi pengalaman cinta dan keterpesonaannya. Sepotong gambar yang dihasilkan merupakan satu gambar terpilih dari puluhan hasil jepretan di tempat yang sama dengan berbagai perbedaan sudut pandang maupun tekhnik pengambilan gambar. Sepotong gambar itu juga mewakili perjuangan yang menunjukkan gairah (passion) seseorang yang sedang terpesona dan jatuh cinta. Artinya sepotong gambar yang dihasilkan adalah buah discresi untuk mewartakan Kemuliaan Pencipta yang dahsyat menggetarkan namun sekaligus penuh cinta.
​Pengalaman perjalanan kegiatan fotografi tanpa disadari mengasah kepekaan mata hati dengan melihat ciptaan menghantar pada pengalaman akan Sang Pencipta yang begitu dekat, penuh cinta namun sekaligus yang agung menggetarkan. Namun demikian pengalaman perjalanan itu adalah pengalaman yang “luar biasa”. Tantangannya adalah bagaimana kepekaan hati itu selalu hadir dalam kehidupan yang biasa sehari-hari. Artinya dalam hidup sehari-hari yang rutin melalui perjumpaan-perjumpaan dan aktifitas harian mampu melihat, merasakan dan mengalami kehadiran Tuhan yang menggetarkan namun sekaligus penuh cinta. Dengan demikian hidupnya penuh gairah, penuh penghormatan dan pelayanan karena ia mengalami cinta dan selalu memancarkan cinta.
​ Akhirnya sepenggal foto bukan sekedar bukti perjalanan fotografi, atau sekedar hobi yang mengkatarsis hidup akan tetapi sepenggal foto menunjukkan peziarahan panjang yang tak pernah usai untuk mampu menemukan dan mengalami Tuhan dalam kehidupan sehari-hari.

Iwan Roes

Selasa, 14 Maret 2017

Renungan : oleh Romo Rusbani Setiawan BS.
Catatan di Penghujung Hari
14 maret 2017

Dalam sebuah perbincangan mengenai tujuan hidup manusia, bahwa tujuan manusia diciptakan untuk memuji, menghormati dan mengabdi Allah agar jiwanya diselamatkan, dengan beberapa rekan muda muncul pertanyaan kritis yang menjadi permenungan lebih lanjut. Pertanyaan tentang mereka yang menjadi pelaku bom bunuh diri. Bukankah mereka yang melakukan bom bunuh diri adalah orang-orang yang telah memilih sarana yang paling baik untuk memuji, menghormati dan mengabdi Allah?. Bukankah mereka memenuhi panggilan kemartiran? Sehingga mereka disebut para pengantin Allah? Betul bahwa keyakinan mereka adalah buah dari pencucian otak, namun bukankah agama juga dalam arti tertentu melakukan pencucian otak kepada para jemaatnya?
​ St. Ignatius dari Loyola memberikan warisan rohani yang amat berharga yang dikenal dengan latihan rohani (LR). Beliau menggambarkan latihan rohani seperti berikut: sebagaimana gerak jalan, jarak dekat atau jarak jauh dan lari disebut latihan jasmani, begitu pula yang dinamakan LR yaitu setiap cara mempersiapkan jiwa dan menyediakan hati untuk melepaskan diri dari segala rasa lekat tak terarur dan selepasnya dari itu lalu mencari dan menemukan kehendak Allah dalam hidup nyata guna keselamatan jiwa kita. Dengan latihan rohani orang diajak sampai pada kebebasan diri tidak menjadi condong untuk ini atau itu, tetapi menjadi lepas bebas sehingga mudah digerakkan oleh kehendak Allah
Allah adalah kasih, tidak ada satu agamapun didunia ini yang tidak mengajarkan bahwa Allah adalah kasih; maka hukum Allah yang utama dan terutama adalah kasih. Oleh karena itu kehendak Allah pasti berdasar pada kasih dan bertujuan agar semua orang mengalami kasih. St. Ignatius menambahkan untuk mencapai suatu tujuan yang baik, harus dijalani dengan proses yang baik pula; niat awal baik, proses awal baik dan tujuannya juga baik. Maka upaya-upaya jalan pintas dan menghalalkan segala cara bukan yang diharapkan dan dianjurkan.
​Manusia yang lepas bebas adalah manusia yang mampu menggunakan akal budi dan hatinya dengan bebas, dan mampu memutuskan bagi dirinya dengan kebebasan tanpa tekanan. Artinya ia mampu melihat segala sesuatu sebagai tawaran, mana yang akan dipilih tergantung dari pengolahan dirinya. Mereka yang dicuci otak, bukanlah manusia yang bebas lagi karena kemampuan akal budi dan hati untuk memilih telah dihilangkan. Mereka hanya ada pada satu kecenderungan saja, bahkan mereka tidak mampu lagi mempertimbangkan apakah prosesnya baik atau tidak, benar atau tidak. Mereka hanya melihat tujuan dan mengarah pada tujuan soal bagaimana dan dengan cara apa mencapai tujuan bukan yang penting dan “bukan urusan” mereka. Mereka ada pada kebebasan semu.
​Maka pencucian otak adalah tindak kejahatan kemanusiaan luar biasa, karena menghilangkan hak asasi dan merusak martabat manusia. Tindakan pencucian otak adalah bentuk pedegradasian martabat manusia karena manusia dijadikan alat untuk memenuhi “kebutuhan” si pencucinya. Oleh karena itu betapa mengerikan kalau ada pemimpin atau pemuka agama yang melakukan pencucian otak demi kepentingan pribadinya.

Iwan Roes

Senin, 13 Maret 2017

Ibadat Jalan Salib di Taman Doa Buda Kristus "TEBAR KAMULYAN"  Jum'at 3 Maret 2017

Hujan deras mendera rupanya tidak menyurutkan niat Romo Iwan dan beberapa umat Paroki Subang melaksanakan Ibadat Jalan Salib di Taman Doa Bunda Kristus " Tebar Kamulyan" untuk ber "belarasa" terhadap keprihatinan umat serta masyarakat yang menderita karena didera berbagai musibah terutama bagi mereka yang terdampak banjir di berbagai tempat saat ini, begitu derasnya hujan sehingga sebagian halaman taman Doa di kawasan Diorama Jalan Salib tergenang air sampaikurang lebih 40 cm ( sumur resapan yang ada tidak mampu lagi mampu menampung derasnya air).... Dengan keadaan itu hampir separuh rangkaian ibadat dijalani ditengah genangan air setinggi lutut.... Semoga segala niat baik dan belarasa ini bisa lebih dimaknai didalam masa Prapaskah ini perlu pertobatan dan membuka hati, bahwa hidup ini harus selalu diupayakan dan disertai usaha walau banyak halangan dan derita menghadang kita percaya niscaya Tuhan akan mendengarkan permohonan dan mengabulkan yang terbaik untuk kita dan masyarakat..... Tuhan memberkati......



Renungan : oleh Romo Rusbani Setiawan BS.
Catatan di Penghujung Hari
13 Maret 2017

Harian Kompas yang terbit hari Minggu 12 Maret, memberitakan dan mengulas tentang pertunjukan teater dengan judul Presiden Kita Tercinta. Dalam ulasan disebut bahwa pesan moral dari pementasan teater itu adalah bahwa kekuasaan tidak ada artinya kalau saja itu hanya menjadi embrio penderitaan, yaitu kekuasaan yang hanya melahirkan penderitaan. Pesan moral ini menjadi terasa begitu menusuk di tengah hangatnya berita tentang banyaknya pejabat di negeri ini yang terjerat kasus korupsi. Salah satu berita yang masih hangat menjadi pembicaraan adalah kasus korupsi KTP elektronik. Bukan saja soal jumlah uang yang fantastis yang diduga dikorupsi tetapi lebih dari itu banyaknya pejabat dan petinggi di negeri ini yang diduga terlibat. Banyaknya pejabat dan petinggi negeri ini yang terjerat kasus korupsi menunjukkan matinya mata hati dan budi mereka. Sudah pasti dan amat jelas bahwa tindakan mereka menyebabkan penderitaan banyak orang. Keluarga mereka pasti terkena imbasnya namun keluarga mereka telah menikmati “manisnya” hasil korupsi, sedang masyarakat banyak yang seharusnya mendapatkan kesejahteraan terabaikan karena tindakan mereka.
​Banyak orang berambisi untuk menduduki jabatan atau kekuasaan dalam bidang apapun di negeri ini dan ambisi itu adalah sah, baik dan benar; karena Negara memanggil setiap warga negara untuk berpartisipasi mengelola negara ini. Namun melihat kasus banyaknya pejabat yang terjerat kasus korupsi maka pertanyaan dasar adalah apa yang mendasari ambisi mereka. St. Ignatius dari Loyola seorang ahli rohani Gereja Katolik mengatakan bahwa “tujuan pertama dan utama manusia diciptakan adalah untuk mengabdi, memuji dan menghormati Allah agar dengan demikian jiwanya diselamatkan. Segala sesuatu adalah sarana untuk mencapai tujuan itu.” Karena segala sesuatu adalah sarana maka kemampuan untuk memilih sarana yang terbaik demi tujuan itu menjadi amat penting.
Kembali ke pertanyaan soal apa yang mendasari ambisi mereka yang ingin menduduki jabatan atau kekuasaan nampaknya ambisi sering kali mengaburkan antara mana yang sarana dan mana yang tujuan. Ketika jabatan dan kekuasaan menjadi tujuan hidup maka apapun akan dilakukan demi mencapainya bahkan kalau perlu menghalalkan segala cara. Dengan demikian mereka berjalan memakai kacamata kuda. Hati, budi dan kemanusiaannya telah ditutup demi ambisinya. Maka tidak mengherankan kalau ambisinya hanya akan melahirkan penderitaan.
​ Dalam perjalanan hidup manusia sering kali tidak sadar akan hidup mereka, hidup hanya (waton glundhung) asal jalan ikut arus baik arus dari luar maupun arus dari dalam diri.
Betapa mengerkan negeri ini bila dikelola oleh orang-orang yang demikian.

Iwan Roes

Minggu, 12 Maret 2017

Renungan : oleh Romo Rusbani Setiawan BS.
Catatan di Penghujung Hari
11 Maret 2017

Berita tentang banyaknya para Pemimpin Daerah dan Anggota Dewan yang tesangkut kasus korupsi dan ditegaskan dengan hasil survei yang menyatakan bahwa DPR adalah lembaga terkorup muncul pertanyaan siapa yang salah? Mereka, para Pemimpin Daerah dan Anggota Dewan adalah orang-orang yang dipilih oleh rakyat untuk menduduki jabatan itu. Berdasar logika sederhana maka rakyat yang memilihlah yang salah karena rakyat memilih orang-orang yang tidak layak atau minimal menempatkan orang-orang yang tidak mampu untuk melawan godaan. Namun benarkah para pemilih yang salah? Kiranya rakyat yang memilih tidak bisa dipersalahkan karena dalam kenyataannya pertama, rakyat tidak diberi pilihan yang lain selain yang disodorkan oleh partai pengusung dan kedua, rakyat sering “dibodohi” dengan berbagai macam janji dan anjuran oleh tokoh-tokoh masyarakat untuk memilih orang tertentu atau partai tertentu. Oleh karenanya jawaban sederhana siapa yang bersalah adalah mereka yang mengusungnya.
Menengok pilkada DKI putaran kedua. Di media sosial beredar berita dan video yang menunjukkan usaha memenangkan salah satu pasangan calon dengan menggunakan sentimen agama. Ulama-ulama dana atau pemuka-pemuka masyarakat mempengaruhi umatnya untuk memilih salah satu pasangan calon dan bahkan dengan cara membaiat sampai dengan teror tidak mendoakan mereka yang meninggal jika tidak memilih pasangan calon tertentu. Dengan cara-cara seperti ini rakyat “dibodohi” karena masyarakat tidak diajak menjadi pemilih yang cerdas. Masyarakat tidak diberi pengetahuan dan wawasan tentang pasangan yang hendak dipilih. Para ulama dan pemuka masyarakat tidak berani jujur mengatakan kebenaran tentang pasangan calon yang dianjurkan untuk dipilih. Hal lain yang patut dipertanyakan adalah apakah para ulama dan pemuka masyarakat menganjurkan rakyat untuk memilih pasangan calon tertentu bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat atau untuk keuntungan pribadinya.
Kalau nanti pasangan calon yang diusungnya jadi Gubernur DKI dan kemudian tersangkut korupsi, apa pertanggung jawaban para ulama dan pemuka masyarakat?
Betapa mengerikan kalau sampi para ulama dan pemuka masyarakat membunuh hati nuraninya demi kepentingan pribadi dan sesaat saja. Kembali rakyat akan menjadi korban dan apa yang harus diperbuat oleh rakyat, mereka akan diminta sabar serta tawakal.

Iwan Roes
Renungan : oleh Romo Rusbani Setiawan BS.
Catatan di Penghujung Hari
10 Maret 2017

Harian Kompas yang terbit hari ini, di bawah judul Mengejar Cita-cita Hatta mengisahkan perjuangan Mohammad Hatta untuk Indonesia sejahteran. Dalam kisah itu diceritakan bahwa menyaksikan suka-duka ayah tirinya sebagai seorang saudagar, Hatta yang saat itu berusia 11 tahun sar, ada yang salah dengan politik keuangan negara yang saat itu dikuasai Belanda. Pencerahan itu berujung pada cita-cita akan suatu negara merdeka yang mampu menjamin kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya. Mimpi akan negara yang menjamin kemakmuran dan keadilaan sosial bagi seluruh rakyat tercermin dalam sikap hidupnya yang mengutamakan kepentingan orang lain dari pada diri sendiri seperti yang dikisahkan putrinya: Hatta menginginkan sepatu Bally yang terkenal namun karena tidak mampu membeli maka ia menggunting iklan sepatu tersebut dan menyimpannya dalam buku harian. Hatta sebenarnya mampu membeli sepatu itu namun ia mendahulukan memberi bantuan kepada orang lain yang membutuhkan modal usaha.
Seorang negarawan dan politisi sesungguhnya seluruh hidupnya diabdikan bagi perjuangan kesejahteraan bersama seluruh rakyat. Dan itulah makna dan tujuan politik yang sesungguhnya. Negarawan dan politisi mendahulukan kepentingan rakyat, tidak berjuang untuk kepentingan pribadi maupun golongannya. Hatta adalah teladan bagi seluruh anak bangsa negeri ini, bagaimana menjadi seorang negarawan dan politisi.
Apa yang terjadi dengan banyak politisi di negeri ini berbanding terbalik dengan apa yang terjadi dengan Hatta. Banyak politisi di negeri ini berpolitik bukan demi kesejahteraan bersama seluruh rakyat akan tetapi demi ambisi dan kepentingan pribadi dan golongannya. Kalaupun ada janji berjuang untuk kesejahteraan bersama itu hanyalah janji-janji kampanye yang tidak pernah terwujud. Banyaknya para politisi yang terjerat kasus korupsi dan bahkan DPR gudang para politisi disebut sebagai lembaga terkorup di negeri ini menegaskan bahwa banyak politisi di negeri ini bukanlah para politisi tetapi para pemburu rente.
Cita-cita para negarawan dan politisi yang sesungguhnya seperti Hatta sulit di kejar kalau mereka yang disebut politisi sebetulnya adalah para pemburu rente.

Iwan Roes


Kamis, 09 Maret 2017

Renungan : oleh Romo Rusbani Setiawan BS.
Catatan di Penghujung Hari
9 Maret 2017

Beberapa waktu yang lalu saya mendapat cerita dari seorang teman kalau saudaranya sedang dirundung duka yang mendalam. Putri saudaranya yang baru berumur 13 tahun ketahuan mengandung. Duka yang semakin menyesakkan setelah keluarga itu tahu bahwa pelaku perbuatan bejad itu adalah guru mengaji putrinya. Putrinya selama ini menyembunyikan perbuatan guru ngajinya karena takut, sebab diancam kalau bercerita akan dibunuh. Cerita yang amat menyedihkan dan membikin marah.
​Kisah memilukan tentang perempuan menjadi korban kekerasan sudah sering terdengar dan muncul dalam banyak pemberitaan. Harian Kompas yang terbit hari ini memberitakan catatan Tahunan 2017 Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) bahwa terdapat 259.150 kasus kekerasan yang ditangani pada 2016. Dari jumlah kasus itu, 255.753 terjadi di ranah personal dan sisanya di ranah negara. Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban menyoroti adanya banyak kasus kekerasan terhadap perempuan baik verbal maupun fisik dan seksual yang belum tersentuh oleh hukum. Maka perlu penegakan hukum yang lebih serius agar kekerasan-kekerasan terhadap perempuan segera diakhiri. Ketua LPSK juga menyoroti banyak perempuan yang dianggap sebagai pemicu kekerasan dan pelecehan yang dialaminya. Veni Oktorini, ketua Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan menegaskan bahwa semenjak membuat berita acara pidana, korban mengalami penghakiman oleh aparat penegak hukum. Pertanyaan yang dilontarkan seolah menuduh bahwa kekerasan terjadi karena korban yang memulai akibat berpakaian atau berbicara yang tidak sesuai norma. Pelaku kekerasan sering dihukum terlalu ringan dibandingkan dengan penderitaan dan trauma hidup para korban.
​Perempuan adalah ibu. Menyalurkan hidup dengan cintanya yang luar biasa. Perempuan disebut Hawa (Hawwah) karena ia menghidupkan. Maka kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan bukan hanya sebuah tindakan melawan kemanusiaan tetapi lebih dari itu adalah tindakan melawan hidup, melawan cinta yang luar biasa. Kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan menghacurkan ibu, menghancurkan kehidupan.
​Adakah dunia bisa hidup tanpa ibu dan cintanya?

Iwan Roes

Rabu, 08 Maret 2017

Renungan: oleh Romo Rusbani Setiawan BS
Catatan di Penghujung Hari
8 Maret 2017

Berita harian Kompas hari ini di bawah judul DPR Jadi Lembaga Terkorup memberitakan Hasil survei Global Corruption Barometer yang menunjukan DPR dianggap sebagai lembaga yang paling korup. Hasil survei itu terkonfirmasi antara lain dengan adanya sejumlah anggota DPR yang terlibat dalam kasus korupsi. Salah satunya adalah kasus pengadaan KTP elektronik tahun anggaran 2011 – 2012 yang akan disidangkan tgl. 9 Maret 2017. Hasil survei ini kiranya tidak menjadikan public menjadi terkejut. Pandangan masyarakat bahwa banyak anggota DPR yang terlibat korupsi meskipun belum dapat dibuktikan sudah lama ada. Maka hasil survei ini lebih menegaskan dan meyakinkan masyarakat bahwa pandangan yang ada selama ini adalah benar.
Banyaknya anggota DPR yang terlibat dalam kasus korupsi, seringkali dilihat sebagai akibat dari system pemilihan anggota legislative yang berbiaya mahal. Dalam berbagai pemberitaan disebut untuk menjadi anggota DPR membutuhkan dana ratusan juta rupiah. Sementara gaji anggota DPR tidak pernah diterima utuh karena terpotong berbagai hal berkaitan dengan partai dan konstituen. Maka penghasilan anggota DPR selama satu periode jabatan tidak akan menutupi biaya yang telah dikeluarkan selama masa pencalonan sampai terpilih. Alasan yang masuk diakal karena dengan demikian ada dorongan untuk mendapatkan uang minimal balik modal. Akan tetapi pertanyaan muncul adalah apakah sebelum system pemilu legislative yang baru itu digunakan, anggota DPR periode system lama tidak terjerat korupsi?
Harus diakui sistem bisa menjadikan seorang anggota DPR terjerumus dalam jerat korupsi. Namun demikian yang paling utama bukan pada sistemnya tetapi pada motivasi dan integritas manusianya. Banyak para calon anggota legislative adalah politisi-politisi “dadakan” yang memanfaatkan popularitas pribadi, kecukupan modal maupun kesempatan “untung-untungan” sehingga patut diduga kemurnian menjadi politisi yang berjuang untuk kepentingan rakyat amat rendah. Partai pengusung seringkali mementingkan tujuan pragmatis jangka pendek yaitu memenangkan sebanyak mungkin kursi sehingga kualitas anggota legislatifnya patut dipertanyakan.
Harus diakui pula banyak anggota DPR yang punya intergritas tinggi, yang berjuang untuk jujur ditengah godaan yang luar biasa itu. Semoga yang sedikit itu menjadi virus ditengah kebobrokan yang banyak.

Iwan Roes

Selasa, 07 Maret 2017

Renungan: oleh Romo Rusbani Setiawan BS.
Catatan di Penghujung Hari
7 Maret 2017

Berita harian Kompas hari ini di bawah judul Akademisi dan Pakar Menolak Revisi UU KPK memberitakan bahwa beberapa akademisi dan pakar hukum sepakat menolak revisi Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Menurut Oce Madril Peneliti di Pusat Kajian Anti-Korupsi Fakultas Hukum UGM mengatakan ide-ide revisi UU KPK hanya akan memereteli kewenangan KPK. Sedang Pakar tindak pidana pencucian uang dari Universitas Trisakti, Yenti Garnasih mengatakan bahwa kewenangan penyadapan selalu dipermasalahkan. Sementara korupsi masih merajalela, KPK tentu membutuhkan penyadapan sebagai salah stu alat untuk pembuktian. Penyadapan juga berfungsi sebagai efek jera agar orang yang ingin mencoba korupsi agar berpikir ulang.
​Sudah berungkali perdebatan muncul berkaitan usaha revisi UU KPK. Pokok persoalan adalah usaha revisi UU KPK disatu pihak sebagai upaya preventif agar KPK menjadi lembaga yang maha kuasa sedang dipihak lain melihat usaha revisi sebagai usaha untuk memereteli kewenangan KPK. Pada pihak yang ingin merevisi khawatir kalau kewengan yang ada pada KPK disalah gunakan untuk kepentingan politik atau penguasa sehingga banyak orang menjadi korban ketidak adilan. Sedang pihak yang menolak usaha memereteli kewenangan KPK akan menjadikan korupsi semakin merajalela. Sementara kewenangan masih ada saja belum memberi efek jera.
​Kecurigaan para penolak revisi bukan tanpa alasan. Sampai sekarang banyak kasus-kasus korupsi yang terungkap melibatkan para legislator. Dan diduga masih banyak kasus-kasus korupsi yang melibatkan para legislator belum terungkap atau sulit untuk diungkap dan dibuktikan. Terlebih usaha revisi UU KPK bertepatan dengan adanya pengungkapan kasus korupsi pengadaan KTP elektronik yang kabarnya melibatkan banyak legislator dan petinggi-petinggi partai dan atau pejabat di negeri ini. Usaha-usaha untuk memereteli kewenangan KPK dalam usaha memberantas korupsi di negeri ini tindakan kejahatan untuk bangsa ini. Karena usaha itu menunjukkan mereka tidak berpihak pada kesejahteraan masyarakat tetapi kesejahteraan pribadi-pribadi. Kiranya yang dibutuhkan adalah regulasi fungsi kontrol dan evaluasi bagi kinerja KPK bukan regulasi yang berujung menumpulkan kewenangan KPK.
​Kalau para legislator, pejabat dan tokoh-tokoh itu bersih, jujur dan membela kepentingan masyarakat, mengapa takut disadap dan khawatir dengan kewenangan KPK?

Iwan Roes

Senin, 06 Maret 2017

Renungan : oleh Romo Rusbani Setiawan BS.
Catatan di Penghujung Hari
6 Maret 2017

Berita foto harian Kompas hari ini menampilkan gambar seorang bapak menangis saat menggendong anak perempuannya meninggalkan tempat tinggalnya di Mosul Barat, Irak yang diduduki kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Gambar dengan latar kota yang porak poranda dan orang-orang yang bergegas meninggalkan kota menunjukkan betapa mengerikan keadaan kota itu dan betapa menyedihkan penderitaan penduduknya. Kalau dalam gambar seorang bapak yang menangis menggendong anaknya betapa banyak sesungguhnya perempuan dan anak-anak yang menjadi korban kekejaman peperangan.
Kelompok yang berusahan mendirikan Negara Islam di Irak dan Suriah sudah lama terkenal dengan kekejamannya. Sudah banyak manusia dan warisan peradaban yang dihancurkannya. Kelompok ini menyebar terror di sejumlah tempat. Kelompok ini tidak hanya ada di Irak dan Suriah saja, melainkan diberbagi negara bahkan di Indonesia telah banyak yang menamakan diri sebagai kelompok NIIS. Mereka merekrut pengikut, membaiat pengikut agar setia pada pimpinan kelompok ini. Mereka mendidik dan melatih anggota kelompoknya untuk menjadi kelompok yang militan untuk menebar teror. Banyak orang di Indonesia terbuai dengan ajaran dan anjuran kelompok ini yang mau mendirikan negara berdasarkan syairat Islam yang sesungguhnya. Mereka membuai dengan mimpi negara yang damai, aman dan sejahtera. Banyak orang yang bergabung dengan kelompok ini rela meninggalkan keluarganya. Yang mengherankan mereka yang bergabung bukan hanya mereka yang kurang terpelajar yang mudah untuk dibodohi tetapi orang-orang cerdik pandai yang tentu saja tidak mudah untuk dibodohi.
Mungkinkah mendirikan negara dengan tujuan untuk kesejahteraan manusia dengan mengorbankan kemanusiaan? Setiap usaha pemuliaan martabat manusia tidak mungkin dengan cara menghancurkan kemanusiaan. Tujuan yang baik dan mulia, akan dicapai dengan cara yang baik dan mulia pula. Tidak ada satu agamapun di dunia ini yang beriman pada Yang Ilahi yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan apalagi dengan melawan hukum cinta kasih.

Iwan Roes

KERJA BAKTI BERSAMA MEMBERSIHKAN KAWASAN TAMAN DOA "TEBAR KAMULYAN"
Berkenaan dengan di mulainya masa Prapaskah, Pada hari Minggu 5 Maret 2017 Romo Iwan berprakarsa untuk mengajak segenap umat Subang dengan melibatkan semua Lingkungan, Stasi, Siswa Yos Sudarso dan kelompok Batak Katolik yang ada di Paroki Subang untuk bersama-sama membersihkan Diorama Kisah Sengsara Yesus Kristus serta halaman Taman Doa Bunda Kristus TEBAR KAMULYAN agar tempat itu tetap asri, bersih dah nyaman untuk melaksanakan doa dan ibadat jalan salib bagi umat dan peziarah yang berkunjung ke TEBAR KAMULYAN... , Tuhan Memberkati
dan peziarah yang berkunjung ke TEBAR KAMULYAN... , Tuhan Memberkati

Minggu, 05 Maret 2017

Renungan : oleh Romo Rusbani Setiawan BS
Catatan di Penghujung Hari
4 Maret 2017

Sejak kemarin, bermunculan berita terkait pertemuan Raja Salman dengan para tokoh agama. Pernyataan Raja Salman yang mengapresiasi toleransi di Indonesia dan ajakan untuk melawan gerakan radikalisme dan ekstrimisme yang bermuara pada tindakan terror menjadi pokok dari berita tersebut. Pertemuan Raja Salman dengan tokoh-tokoh agama menampakan tindakan simbolis dan pernyataanya menjadi pesan simbolis yang kuat dari pemerintah dalam upaya menjaga kerukunan antar umat beragama yang pada akhir-akhir ini sering ternodai di negeri ini.
​ Beberapa waktu sebelum kedatangan Raja Salman, banyak beredar berita di media sosial bahwa tujuan kedatangan beliau ke Indonesia sebagai dukungan terhadap tokoh-tokoh gerakan yang dikenal dengan gerakan 212 dan turunannya. Selain itu juga dukungan terhadap umat muslim di Indonesia. Kenyataannya Raja Salman datang ke Indonesia sebagai kepala negara dan pemerintahan Kerajaan Arab Saudi bukan sebagai tokoh Islam yang mengunjungi umatnya di negeri ini. Misi beliau yang pertama dan utama sebagai mana dilansir oleh banyak media adalah menjalin hubungan antar dua negara dan misi “dagang”. Artinya kedatangan beliau bisa disejajarkan dengan kedatangan para pemimpin negara dan atau pemerintahan negara sahabat.
Meskipun demikian tidak dapat dipungkiri Raja Kerajaan Arab Saudi tetap harus dilihat sebagai tokoh Besar umat muslim, karena di sanalah Islam lahir dan bermula. Arab Saudi menjadi kiblat dari agama Islam, secara khusus di Indonesia. Bahkan perkembangan akhir-akhir ini budaya Islam di Indonesia berpusat pada Arab Saudi, dan semakin sulit dipisahkan mana budaya Arab dan mana budaya Indonesia. Tidak jarang muncul anggapan semakin mengikuti budaya Arab semakin Islami. pada kelompok Islam tertentu yang merasa diri lebih menghayati keislaman cenderung membuat aturan dan anjuran yang eksklusif. Perjumpaan para tokoh Agama dengan Raja Salman yang diatur oleh Pemerintah menyampaikan pesan kuat dan jelas bahwa tokoh Besar Umat Islam yang asli Arab penjaga tanah suci ternyata berbeda dengan kelompok Islam tertentu di negeri ini. Raja Salman tidak haram berjumpa dengan tokoh-tokoh agama lain, tidak haram berjabat tangan dengan perempuan dan yang lebih penting adalah beliau menjunjung tinggi sikap inklusif dan toleransi antar agama, bahkan beliau mengecam radikalisme dan ekstrimisme.
Semoga tindakan simbolis dengan pesan yang jelas dan tegas meneguhkan pemerintah untuk semakin berani dan tegas melawan golongan-golongan yang hendak merusak kerukunan antar umat beragama.

Iwan Roes

Kamis, 02 Maret 2017

Renungan : oleh Romo Rusbani Setiawan BS.
Catatan di Penghujung Hari
2 Maret 2017

Berita harian Kompas hari ini di bawah judul Koalisi Cair, Koalisi Kekuasaan, memberitakan bahwa pilkada serentak 2017 menunjukkan cairnya relasi partai politik dalam membangun koalisi mengusung calon kepala daerah. Tidak muncul dikotomi antara partai yang ada di alam dan di luar pemerintah. Platform dan program partai juga seolah tak menjadi sekat. Koalisi pun dibangun demi kekuasaan. Data menunjukkan, koalisi yang “cair” berujung pada keberhasilan mempertahankan atau merebut kekuasaan. Gun Gun Heryanto mengatakan bahwa dampak dari cairnya koalisi yang berorientasi pada kekuasaan, koalisi tidak menjadi kanal pelembagaan politik, tetapi membuat mereka terjebak pada pragmatism jangka pendek. Akibatnya partai tidak cukup dipercaya membawa suara basis pemilihnya serta menimbulkan jurang komunikasi yang membuat ikatan dan identifikasi diri pemilih dan partai semakin pudar.
​Dalam system demokrasi partai politik menjadi instrument penting dalam membangun pemerintahan, karena partai politik menjadi personifikasi rakyat. Rakyat memilih partai politik tertentu karena platform dan program partai mewakili aspirasi mereka. Dalam beberapa tahun terakhir nampak bahwa partai tidak lagi dianggap sebagai perwakilan untuk menyalurkan aspirasi rakyat. Sebagai contoh ketika menjelang pilkada DKI partai-partai politik gaduh gara-gara Ahok memutuskan untuk maju sebagai calon independen. Antusiasme masyarakat terhadap calon independen ini menimbulkan kekhawatiran dalam pilkada lebih banyak yang memilih calon independen. Akibat dari kegaduhan ini partai-partai politik lewat wakilnya di lembaga legislatif merasa perlu merevisi Undang-Undang agar tidak mudah bagi calon independen untuk maju pilkada.
​Sayangnya kekhawatiran partai politik tidak lagi dianggap sebagai penyalur aspirasi masyarakat tidak serta merta diikuti dengan perubahan-perubahan perilaku partai itu sendiri. Partai tidak menegaskan platform dan programnya sebagai penampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, sehingga masyarakat semakin tahu dan yakin kemana penyalurk aspirasi. Akan tetapi yang terjadi partai politik justru melihat masyarakat sebagai alat untuk membesarkan dan memenuhi ambisi partai. Ketika partai politik melihat masyarakat sebagai alat untuk partainya maka masyarakat terjebak dengan pragmatis kepentingan sesaat sering kali hal itu berkaitan dengan politik uang. Masyarakat tidak punya ikatan dengan partai tertentu mana yang menguntungkan (dalam konteks materi) itulah yang dipilih. Dengan demikian semakin banyak massa mengambang dalam system demokrasi kita. Dampak yang lebih besar adalah partai merasa tidak bertanggung jawab kepada masyarakat dan masyarakat akan menjadi semakin apolitik.
​Ketika masyarakat tidak punya saluran aspirasi dan atau aspirasi mereka diabaikan maka memunculkan parlemen jalanan atau bahaya yang lebih besar situasi ini menjadi habitat untuk suburnya populisme.

Iwan Roes

Rabu, 01 Maret 2017

Renungan : oleh Romo Rusbani Setiawan BS.
Catatan di Penghujung Hari
1 Maret 2017

Dalam berita harian Kompas hari ini, di bawah judul Pelanggaran Meningkat, memberitakan laporan tahunan Kemerdekaan Beragama dan Berkeyakinan Indonesia tahun 2016 yang disusun Wahid Foundation. Dalam laporan itu menunjukkan, selama tahun 2016 terjadi 204 peristiwa pelanggaran Kemerdekaan Beragama dan Berkeyakinan (KBB). Jumlah itu naik 7 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya 190 peristiwa. Pelaku pelanggaran KBB didominasi pemerintah dan aparat, yaitu 130 dari 204 peristiwa. Lainnya dilakukan masyarakat dan ormas. Lebih lanjut diberitakan pentingnya kepala daerah dalam menciptakan suasana toleransi di daerah yang dipimpinnya.. Sekali kepada daerah mengeluarkan kebijakan diskriminasi akan langsung terasa suasana intoleransi di daerah. Pasalnya, kebijakan itu akan diikuti warganya.
​ Dalam kenyataan di masyarakat sebenarnya hubungan antar anggota masyarakat nampak sikap yang inklusif dan tidak melihat orang dari sisi sara. Sikap esklusif dan intoleran yang menjurus pada tindakan intoleran terjadi di masyarakat akibat dari ajaran dan anjuran dari para pemimpin masyarakat atau pemimpin agama. Ajaran dan anjuran dari pemimpin masyarakat atau pemimpin agama sering kali mengatakan bahwa golongan mereka lebih baik dari golongan lain dan berusaha agar golongan lain menjadi seperti golongannya. Dampak dalam masyarakat tersebut golongan tertentu mayoritas dari sisi jumlah maka akan berusaha agar tidak ada golongan lain dalam masyarakatnya. Sikap dan tindakan para pemimpin masyarakat atau pemimpin agama yang demikian itu amat menyedihkan. Hal yang lebih menyedihkan adalah para pendidik di sekolah-sekolah negeri sering kali entah sengaja atau tidak menanamkan sikap-sikap intoleran. Dalam praktiknya sering kali selalu menonjolkan agama yang dianutnya dan menjelekkan agama lain. Bahkan tidak jarang ada tindakan “bulliying” kepada peserta didik yang berbeda keyakinan. Kecenderungan ajaran dan anjuran intoleran akhir-akhir ini semakin banyak terjadi. Dan bila dibiarkan kesatuan dan persatuan masyarakat di negeri ini akan hancur.
​ Anomali nampak terjadi di negeri ini, semakin nampak pandai seseorang dan atau semakin nampak mendalam pengetahuan seseorang tentang agama semakin esklusif dan intoleran. Bukankah seharus semakin inklusif, bukankah pengetahuan mendasarkan pada kemanusiaan dan agama pada hukum kasih? Jangan-jangan yang terjadi pada mereka hanya nampak pandai dan nampak mendalam dalam hal agama bukan yang sesungguhnya.

Iwan Roes
Renungan : oleh Romo Rusbani Setiawan BS

Catatan di Penghujung Hari
28 Februari 2017

Dalam berita Harian Kompas hari ini di bawah judul “Melawan Teror, Kami Spontan Mengejarnya” diberitakan ketika ada terror peledakan bom panci di Taman Pandawa, Kota Bandung, Senin kemarin, siswa-siswa kelas XI SMA 6 Bandung yang sedang berolah raga spontan mengejar pelaku. Pelaku yang hendak melarikan diri dengan sepeda motor digagalkan sehingga lari ke dalan kantor Kelurahan Arjuna. Sehingga kemudian dapat dilumpuhkan oleh aparat keamanan. Reaksi spontan dan keberanian para pelajar SMA 6 Bandung patut diacungi jempol; karena dengan keberanian mereka memudahkan aparat keamanan melumpuhkan pelaku terror. Seandainya tidak ada para pelajar pelaku sudah melarikan diri dengan sepeda motornya. Namun demikian Kriminolog Universitas Padjajaran mengingatkan bahwa keberanian para siswa mengundang bahaya, karena pelaku dapat melukai para pelajar dan orang lain dengan senjatanya. Lebih lanjut ia mengingatkan jangan sampai tindakan masyarakat umum melawan teroris justru mengundang bahaya.
Tindakan spontan dan berani para pelajar SMA 6 kiranya dapat menjadi inspirasi bagi warga masyarakat untuk tidak takut melawan teror. Walau tetap perlu mengedepankan prinsip kehati-hatian. Berbagai kasus teror, para pelaku sering kali dikenal sebagai warga pendatang yang tertutup, kurang bergaul, meski saleh dan santun. Selain itu para pelaku teror sering kali dikenal sebagai pendatang yang berpindah pindah. Artinya para pelaku tinggal diantara kita dan kemudian baru kita sadari bahwa pelaku itu adalah tetangga kita. Sikap permisif masyarakat yang cenderung acuh tak acuh terhadap sesama anggota masyarakat menjadi tempat yang nyaman bagi persembunyian para pelaku teror. Betapa penting mengembangkan sikap hidup bertetangga yang baik sebagai upaya dini mengurangi pelaku-pelaku kejahatan bersembunyi dengan nyaman diantara kita.
Tindakan heroik para pelajar kiranya menginspirasi masyarakat untuk semakin mengembangkan kepekaan lingkungan. Salah satu cara dengan mengembangkan 3 sadar, yaitu Sadar lingkungan, Sadar visi , serta Sadar potensi dan strategi. Secara sederhana sadar lingkungan adalah mengembangkan kepekaan akan adanya peristiwa di lingkungan tempat tinggalku, kecenderungan dan perubahan-perubahannya. Sadar visi adalah kesadaran akan apa yang hendak dan bisa dikerjakan berkaitan dengan kesadaran lingkungan. Sedangkan sadar potensi dan strategi adalah menyadari potensi diri dan masyarakat berkaitan dengan rencana aksi yang mau diambil; untuk menjalankan aksi membutuhkan perencanaan-perencanaan agar sesuai dengan potensi yang ada. Dengan mengembangkan 3 sadar kiranya dapat menumbuhkan masyarakat yang semakin damai dan sejahtera.

Iwan Roes