Senin, 16 Januari 2017

Renungan oleh Romo Rusbani Setiawan BS.
Catatan di Penghujung Hari
16 Januari 2017
Salah satu berita Harian Kompas hari ini mengangkat soal Populisme Mengancam Demokratisasi. Dijelaskan bahwa populisme adalah paham anti kemapanan yang cenderung menutup diri dengan karakter nasionalisme sempit. Mengutip pendapat Herry Priyono diberitakan bahwa populisme adalah gerakan mundur dari globalisasi. Ideologi sempit seperti chauvinisme, nativisme dan keagamaan sempit yang menjadi bagian populisme dijadikan alat politisi meraih keuntungan. Karena sifatnya yang dangkal isme-isme tersebut cenderung anti kemajemukan.
Apa yang dikatakan oleh Herry Priyono tersebut sekarang ini dipertontonkan di panggung politik. Banyak politisi yang menghembuskan isu-isu anti kemajemukan yang mengarah ke SARA demi meraih keuntungan pribadi atau kelompoknya. Dengan demikian essensi dan tujuan politik sudah dihilangkan. Politik bertujuan untuk kesejahteraan bersama (bonum communae). Kekuasaan, partai politik dan sebagainya adalah alat atau sarana untuk mencapai kesejahteraan bersama. Di negeri yang majemuk, kesejahteraan bersama tidak berarti kesejahteraan satu atau dua golongan saja tetapi kesejahteraan semua golongan. Oleh karenanya kalau berpolitik mengedepankan anti kemajemukan berarti meninggalkan keadaban berpolitik. Ketika politisi telah meninggalkan keadaban berpolitik apa yang akan dicapai?
Sudah barang tentu tidak semua politisi meninggalkan keadaban dalam berpolitik, namun apa yang terjadi, mereka yang meninggalkan keadaban bersuara lebih keras dan lebih banyak merebut panggung. Butuh kesadaran dan keberanian bersama untuk menampilkan wajah politik yang beradab.
Iwan Roes

Tidak ada komentar:

Posting Komentar