Catatan di Penghujung Hari
8 Maret 2017
Berita harian
Kompas hari ini di bawah judul DPR Jadi Lembaga Terkorup memberitakan
Hasil survei Global Corruption Barometer yang menunjukan DPR dianggap
sebagai lembaga yang paling korup. Hasil survei itu terkonfirmasi antara
lain dengan adanya sejumlah anggota DPR yang terlibat dalam kasus
korupsi. Salah satunya adalah kasus pengadaan KTP elektronik tahun
anggaran 2011 – 2012 yang akan disidangkan tgl. 9 Maret 2017. Hasil
survei ini kiranya tidak menjadikan
public menjadi terkejut. Pandangan masyarakat bahwa banyak anggota DPR
yang terlibat korupsi meskipun belum dapat dibuktikan sudah lama ada.
Maka hasil survei ini lebih menegaskan dan meyakinkan masyarakat bahwa
pandangan yang ada selama ini adalah benar.
Banyaknya anggota DPR yang terlibat dalam kasus korupsi, seringkali dilihat sebagai akibat dari system pemilihan anggota legislative yang berbiaya mahal. Dalam berbagai pemberitaan disebut untuk menjadi anggota DPR membutuhkan dana ratusan juta rupiah. Sementara gaji anggota DPR tidak pernah diterima utuh karena terpotong berbagai hal berkaitan dengan partai dan konstituen. Maka penghasilan anggota DPR selama satu periode jabatan tidak akan menutupi biaya yang telah dikeluarkan selama masa pencalonan sampai terpilih. Alasan yang masuk diakal karena dengan demikian ada dorongan untuk mendapatkan uang minimal balik modal. Akan tetapi pertanyaan muncul adalah apakah sebelum system pemilu legislative yang baru itu digunakan, anggota DPR periode system lama tidak terjerat korupsi?
Harus diakui sistem bisa menjadikan seorang anggota DPR terjerumus dalam jerat korupsi. Namun demikian yang paling utama bukan pada sistemnya tetapi pada motivasi dan integritas manusianya. Banyak para calon anggota legislative adalah politisi-politisi “dadakan” yang memanfaatkan popularitas pribadi, kecukupan modal maupun kesempatan “untung-untungan” sehingga patut diduga kemurnian menjadi politisi yang berjuang untuk kepentingan rakyat amat rendah. Partai pengusung seringkali mementingkan tujuan pragmatis jangka pendek yaitu memenangkan sebanyak mungkin kursi sehingga kualitas anggota legislatifnya patut dipertanyakan.
Harus diakui pula banyak anggota DPR yang punya intergritas tinggi, yang berjuang untuk jujur ditengah godaan yang luar biasa itu. Semoga yang sedikit itu menjadi virus ditengah kebobrokan yang banyak.
Banyaknya anggota DPR yang terlibat dalam kasus korupsi, seringkali dilihat sebagai akibat dari system pemilihan anggota legislative yang berbiaya mahal. Dalam berbagai pemberitaan disebut untuk menjadi anggota DPR membutuhkan dana ratusan juta rupiah. Sementara gaji anggota DPR tidak pernah diterima utuh karena terpotong berbagai hal berkaitan dengan partai dan konstituen. Maka penghasilan anggota DPR selama satu periode jabatan tidak akan menutupi biaya yang telah dikeluarkan selama masa pencalonan sampai terpilih. Alasan yang masuk diakal karena dengan demikian ada dorongan untuk mendapatkan uang minimal balik modal. Akan tetapi pertanyaan muncul adalah apakah sebelum system pemilu legislative yang baru itu digunakan, anggota DPR periode system lama tidak terjerat korupsi?
Harus diakui sistem bisa menjadikan seorang anggota DPR terjerumus dalam jerat korupsi. Namun demikian yang paling utama bukan pada sistemnya tetapi pada motivasi dan integritas manusianya. Banyak para calon anggota legislative adalah politisi-politisi “dadakan” yang memanfaatkan popularitas pribadi, kecukupan modal maupun kesempatan “untung-untungan” sehingga patut diduga kemurnian menjadi politisi yang berjuang untuk kepentingan rakyat amat rendah. Partai pengusung seringkali mementingkan tujuan pragmatis jangka pendek yaitu memenangkan sebanyak mungkin kursi sehingga kualitas anggota legislatifnya patut dipertanyakan.
Harus diakui pula banyak anggota DPR yang punya intergritas tinggi, yang berjuang untuk jujur ditengah godaan yang luar biasa itu. Semoga yang sedikit itu menjadi virus ditengah kebobrokan yang banyak.
Iwan Roes
Tidak ada komentar:
Posting Komentar