Selasa, 14 Maret 2017

Renungan : oleh Romo Rusbani Setiawan BS.
Catatan di Penghujung Hari
14 maret 2017

Dalam sebuah perbincangan mengenai tujuan hidup manusia, bahwa tujuan manusia diciptakan untuk memuji, menghormati dan mengabdi Allah agar jiwanya diselamatkan, dengan beberapa rekan muda muncul pertanyaan kritis yang menjadi permenungan lebih lanjut. Pertanyaan tentang mereka yang menjadi pelaku bom bunuh diri. Bukankah mereka yang melakukan bom bunuh diri adalah orang-orang yang telah memilih sarana yang paling baik untuk memuji, menghormati dan mengabdi Allah?. Bukankah mereka memenuhi panggilan kemartiran? Sehingga mereka disebut para pengantin Allah? Betul bahwa keyakinan mereka adalah buah dari pencucian otak, namun bukankah agama juga dalam arti tertentu melakukan pencucian otak kepada para jemaatnya?
​ St. Ignatius dari Loyola memberikan warisan rohani yang amat berharga yang dikenal dengan latihan rohani (LR). Beliau menggambarkan latihan rohani seperti berikut: sebagaimana gerak jalan, jarak dekat atau jarak jauh dan lari disebut latihan jasmani, begitu pula yang dinamakan LR yaitu setiap cara mempersiapkan jiwa dan menyediakan hati untuk melepaskan diri dari segala rasa lekat tak terarur dan selepasnya dari itu lalu mencari dan menemukan kehendak Allah dalam hidup nyata guna keselamatan jiwa kita. Dengan latihan rohani orang diajak sampai pada kebebasan diri tidak menjadi condong untuk ini atau itu, tetapi menjadi lepas bebas sehingga mudah digerakkan oleh kehendak Allah
Allah adalah kasih, tidak ada satu agamapun didunia ini yang tidak mengajarkan bahwa Allah adalah kasih; maka hukum Allah yang utama dan terutama adalah kasih. Oleh karena itu kehendak Allah pasti berdasar pada kasih dan bertujuan agar semua orang mengalami kasih. St. Ignatius menambahkan untuk mencapai suatu tujuan yang baik, harus dijalani dengan proses yang baik pula; niat awal baik, proses awal baik dan tujuannya juga baik. Maka upaya-upaya jalan pintas dan menghalalkan segala cara bukan yang diharapkan dan dianjurkan.
​Manusia yang lepas bebas adalah manusia yang mampu menggunakan akal budi dan hatinya dengan bebas, dan mampu memutuskan bagi dirinya dengan kebebasan tanpa tekanan. Artinya ia mampu melihat segala sesuatu sebagai tawaran, mana yang akan dipilih tergantung dari pengolahan dirinya. Mereka yang dicuci otak, bukanlah manusia yang bebas lagi karena kemampuan akal budi dan hati untuk memilih telah dihilangkan. Mereka hanya ada pada satu kecenderungan saja, bahkan mereka tidak mampu lagi mempertimbangkan apakah prosesnya baik atau tidak, benar atau tidak. Mereka hanya melihat tujuan dan mengarah pada tujuan soal bagaimana dan dengan cara apa mencapai tujuan bukan yang penting dan “bukan urusan” mereka. Mereka ada pada kebebasan semu.
​Maka pencucian otak adalah tindak kejahatan kemanusiaan luar biasa, karena menghilangkan hak asasi dan merusak martabat manusia. Tindakan pencucian otak adalah bentuk pedegradasian martabat manusia karena manusia dijadikan alat untuk memenuhi “kebutuhan” si pencucinya. Oleh karena itu betapa mengerikan kalau ada pemimpin atau pemuka agama yang melakukan pencucian otak demi kepentingan pribadinya.

Iwan Roes

Tidak ada komentar:

Posting Komentar