Catatan di Penghujung Hari
18 Maret 2017
18 Maret 2017
Dalam berita foto harian Kompas hari ini di bawah judul KPK Periksa
Kembali Choel, menampilkan foto Andi Zulkarnaen Mallarangeng alias Choel
Mallarangeng, tersangka dugaan korupsi proyek pembangunan Pusat
Pendidikan, Pelatihan dan Sekolah Olah Raga Nasional (P3SON) Hambalang,
memakai rompi orange tersenyum gagah sambil melambaikan tangan. Melihat
foto tersebut kesan yang muncul seperti melihat foto seorang pejabat
yang menyapa masyarakat atau seorang pesohor yang menyapa penggemarnya.
Bukan kali ini saja ada berita foto tentang para tersangka kasus korupsi
yang tampil bak pesohor. Tampilan mereka yang seperti itu tidak jarang
menimbulkan kegeraman karena dengan gaya seperti itu seolah-olah tidak
ada rasa malu dan penyesalan atas apa yang telah diperbuat. Pertanyaan
besar benarkah mereka sudah tidak punya rasa malu dan rasa bersalah
lagi?
Rasa malu, rasa bersalah yang berujung pada sikap penyesalan muncul dari kesadaran gerak batin. Menyadari gerak batin menuntut sebuah kejujuran terhadap diri sendiri dan kesediaan untuk menatap diri sendiri. Dalam berbagai perjumpaan ketika bicara soal bagaimana menyadari gerak batin mengalami berbagai kesulitan. Banyak orang terutama orang muda sekarang amat sulit untuk menyadari dan mengidentifikasi perasaannya terutama perasaan-perasaan yang lembut, tidak spektakuler. Sering kali ketika ditanya apa perasaanya, jawaban yang muncul biasa aja. Artinya kepekaan akan apa yang bergerak dalam batinnya lemah. Namun, di sisi lain banyak orang sekarang ini amat ekspresif, mudah senang, mudah galau dan cemas. Menonjolnya kegitan berpikir dan menalarkan segala sesuatu menjadi salah satu sebab kepekaan akan rasa dan gerak batin lemah. Sifat yang ekspresif muncul sebagai buah penalaran bukan pada kesadaran akan perasaan sedang mudah galau dan cemas merupakan buah dari ketidak mampuan untuk menalarkan hal sedang dihadapi.
Akibat besar yang terjadi adalah banyak orang menjalani hidup terjebak dalam sebuah rutinitas atau ritual tertentu tanpa ada kesadaran akan apa yang dijalaninya.
St. Ignatius dari Loyola mengajarkan refleksi, yaitu usaha menyadari, sikap, tingkah laku, tutur kata, dan tanggapanku atas pengalaman. Dengan itu aku berusaha untuk menangkap gerak batin atau hati. Dengan refleksi orang diajak untuk selalu menyadari pengalaman dan perasaan atau gerak batin yang mengiringi pengalaman itu. Orang diajak untuk melihat dan meneliti berbagai pilihan-pilihan dan keputusan-keputusan mengalami kembali perasaan yang mengiringi ketika pilihan atau keputusan itu diambil dan meneliti dampak dari keputusan itu bagi diri dan orang lain. Ketika orang mau merefleksikan pengalaman hidupnya maka orang akan masuk dalam kepekaan atas gerak batinnya dan semakin kenal dengan cara apa dan bagaimana roh baik atau roh jahat mempengaruhi hidupku. Dengan demikian orang menjadi sadar akan hidupnya, sadar akan tujuan hidupnya dan sadar akan saran-sarana terbaik yang dipilhnya.
Rasa malu, rasa bersalah dan matinya nurani terjadi karena orang tidak mau lagi menyadari perasaan dan gerak batinnya tetapi sibuk membuat penalaran-penalaran (rasionale-rasionale) atas pengalaman hidupnya.
Rasa malu, rasa bersalah yang berujung pada sikap penyesalan muncul dari kesadaran gerak batin. Menyadari gerak batin menuntut sebuah kejujuran terhadap diri sendiri dan kesediaan untuk menatap diri sendiri. Dalam berbagai perjumpaan ketika bicara soal bagaimana menyadari gerak batin mengalami berbagai kesulitan. Banyak orang terutama orang muda sekarang amat sulit untuk menyadari dan mengidentifikasi perasaannya terutama perasaan-perasaan yang lembut, tidak spektakuler. Sering kali ketika ditanya apa perasaanya, jawaban yang muncul biasa aja. Artinya kepekaan akan apa yang bergerak dalam batinnya lemah. Namun, di sisi lain banyak orang sekarang ini amat ekspresif, mudah senang, mudah galau dan cemas. Menonjolnya kegitan berpikir dan menalarkan segala sesuatu menjadi salah satu sebab kepekaan akan rasa dan gerak batin lemah. Sifat yang ekspresif muncul sebagai buah penalaran bukan pada kesadaran akan perasaan sedang mudah galau dan cemas merupakan buah dari ketidak mampuan untuk menalarkan hal sedang dihadapi.
Akibat besar yang terjadi adalah banyak orang menjalani hidup terjebak dalam sebuah rutinitas atau ritual tertentu tanpa ada kesadaran akan apa yang dijalaninya.
St. Ignatius dari Loyola mengajarkan refleksi, yaitu usaha menyadari, sikap, tingkah laku, tutur kata, dan tanggapanku atas pengalaman. Dengan itu aku berusaha untuk menangkap gerak batin atau hati. Dengan refleksi orang diajak untuk selalu menyadari pengalaman dan perasaan atau gerak batin yang mengiringi pengalaman itu. Orang diajak untuk melihat dan meneliti berbagai pilihan-pilihan dan keputusan-keputusan mengalami kembali perasaan yang mengiringi ketika pilihan atau keputusan itu diambil dan meneliti dampak dari keputusan itu bagi diri dan orang lain. Ketika orang mau merefleksikan pengalaman hidupnya maka orang akan masuk dalam kepekaan atas gerak batinnya dan semakin kenal dengan cara apa dan bagaimana roh baik atau roh jahat mempengaruhi hidupku. Dengan demikian orang menjadi sadar akan hidupnya, sadar akan tujuan hidupnya dan sadar akan saran-sarana terbaik yang dipilhnya.
Rasa malu, rasa bersalah dan matinya nurani terjadi karena orang tidak mau lagi menyadari perasaan dan gerak batinnya tetapi sibuk membuat penalaran-penalaran (rasionale-rasionale) atas pengalaman hidupnya.
Iwan Roes
Tidak ada komentar:
Posting Komentar