Rabu, 22 Maret 2017

Renungan : oleh Romo Rusbani Setiawan BS.
Catatan di Penghujung Hari
22 Maret 2017

Terlilit Kontrak Politik
Berita tentang pilkada DKI putaran kedua masih mewarnai berita-berita baik berita cetak, elektronik, online, maupun media sosial. Beberapa waktu yang lalu di media sosial beredar berita berkaitan dengan adanya kontrak politik antara salah satu pasangan calon Gubernur DKI dengan golongan tertentu. Berita itu mendapatkan banyak tanggapan dari netizen, baik komentar positif maupun komentar yang negative.
Setiap calon pemimpin masyarakat, baik itu pemimpin negara dan daerah seharusnya dengan sendirinya tanpa pernyataan apapun sudah membuat kontrak politik dengan seluruh masyarakat yang akan dilayaninya. Kontrak politiknya adalah mengabdi dan melayani masyarakat untuk mencapai kesejahteraan bersama. Artinya ada atau tidak ada selembar kertas pernyataan, kontrak politik telah terjadi. Namun kontrak politik bukan dengan satu atu dua golongan tetapi kontrak politik dengan seluruh masyarakat yang akan dilayaninya. Oleh karena itu amat disayangkan kalau demi meraih dukungan pasangan calon pemimpin masyarakat membuat kontrak politik dengan golongan tertentu.
Apa yang salah dengan membuat kontrak politik? Sebagaimana dalam kampanye para calon pemimpin masyarakat mengumbar janji demikian juga mengumbar kontrak politik adalah bagian dari dinamika dan strategi untuk meraup suara. Pada sudut pandang itu tidak ada yang salah dengan adanya kontrak politik. Persoalan pelunasan janji atau kontrak politik adalah persoalan yang lain. Ketika calon pemimpin masyarakat membuat janji dengan golongan tertentu ada kekhawatiran pemimpin masyarakat menjadi tersandera oleh golongan tertentu sehingga lupa bahwa mereka adalah pemimpin dan pelayan seluruh masyarakat bukan pelayan golongan tertentu. Kontrak politik dengan golongan tertentu sering kali menjadi semacam perjanjian dengan setan. Dalam cerita-cerita tentang perjanjian dengan setan, mereka yang mengadakan perjanjian dengan setan akan mendapatkan apa yang diinginkannya tetapi harus menyediakan tumbal yang rutin untuk membayar apa yang telah diterimanya. Sebagaimana mereka yang membuat perjanjian dengan setan focus pada apa yang diinginkannya dan melupakan resiko yang akan ditanggungnya demikian juga para calon pemimpin masyarakat yang mengikat kontrak politik dengan golongan tertentu.
Pemimpin dan pelayan masyarakat adalah amanah yang mulia dan sekaligus jabatan dan kedudukan yang menggiurkan. Maka tidak jarang banyak para calon yang terlena dengan yang menggiurkan itu sehingga menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya, meski dengan “menumbalkan” mereka yang dilayaninya. Jika demikian pantaskah mereka dipilih sebagai pemimpin dan pelayanan masyarakat?


Iwan Roes

Tidak ada komentar:

Posting Komentar