Catatan di Penghujung Hari
20 maret 2107
Iwan Roes
20 maret 2107
Berita harian Kompas yang terbit hari ini di bawah judul Kerusakan
Lingkungan Masif memberitakan bahwa intensitas dan skala bencana
hidrometeorologi, meliputi banjir, longsor, kekeringan, hingga kebakaran
hutan dan lahan, terus meningkat. Perubahan cuaca hanya memicu, tetapi
penyebab utamanya adalah kerusakan lingkungan yang masih akibat
penurunan daya dukung lingkungan. Rata-rata kerugian akibat bencana ini
per tahun sekitar 30 triliun rupiah, tetapi bisa lebih tinggi jika
terjadi bencana skala besar. Penyebab utama dari semua bencana ini
adalah keserakahan manusia. Alam telah dieksploitasi secara
besar-besaran, manusia merasa sebagai penguasa alam sehingga merasa
berhak untuk mengeksploitasinya. Sayangnya eksploitasi alam hanya
menguntungkan segelintir manusia saja secara khusus para pemilik modal
sedangkan mereka yang kecil, lemah dan miskin sebagai penanggung
akibatnya.
Saya berandai-andai, kalau saja kearifan-kearifan lokal yang mewujud dalam mitos dan hukum adat dipatuhi dan dihidupi mungkin kerusakan lingkungan bisa dicegah atau minimal dikurangi. Seperti adanya hukum adat di Timor-Timur (Timor Leste sekarang) kalau orang mau menebang pohon cendana harus meminta ijin tetua adat dan akan bersama-sama mengukur diameter pohon. Hanya pohon dengan diameter tertentu (pertanda sudah tua) boleh ditebang, dan penebang harus telah menanam lebih dari satu tanaman pengganti. Namun ketika ada pabrik pengolahan kayu cendana maka hukum adat itu tidak lagi berlaku yang berlaku adalah hukum ekonomi akibatnya pada tahun 1993 ketika saya tinggal di sana kayu cendana sulit untuk ditemukan.
Paus Fransiskus dalam seruan pastoral Laudato Si mengutip pernyataan Patriarkh Ekumenis Bartolomeus tentang perlunya setiap orang bertobat dari cara memperlakukan planet ini. Beliau mengatakan:” Sekecil apa pun kerusakan ekologis yang kita timbulkan, kita dipanggil untuk mengakui kontribusi kita, kecil atau besar, terhadap luka- luka dan kerusakan alam ciptaan. Bila manusia menghancurkan keaneka- ragaman hayati ciptaan Tuhan; bila manusia mengurangi keutuhan bumi ketika menyebabkan perubahan iklim, menggunduli bumi dari hutan alamnya atau menghancurkan lahan-lahan basahnya; bila manusia mencemari air, tanah, udara, dan lingkungan hidupnya semua ini adalah dosa. Sebab kejahatan terhadap alam adalah dosa terhadap diri kita sendiri dan dosa terhadap Allah.” Rasanya aneh dan tidak berguna untuk jaman ini membicarakan dosa dan tidak dosa. Namun kiranya yang paling penting setiap dari kita menyadari dampak yang sekarang kita rasakan akibat kerusakan lingkungan. Butuh ketegasan pemerintah dan aparat hukum untuk menindak tegas korporasi-korporasi yang mengeksploitasi alam. Dan dalam skala kecil setiap dari kita mengurangi kontribusi merusak lingkungan.
“Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena Saudari kami, Ibu Pertiwi, yang menopang dan mengasuh kami, dan menumbuhkan berbagai buah-buahan, beserta bunga warna-warni dan rerumputan”. Semoga doa Gita Sang Surya dari St. Fransiskus Asisi menjadi doa kita syukur atas alam semesta yang mewujud dalam tidakan nyata mengurangi kontribusi kita atas perusakan alam semesta dan memberikan kontribusi nyata untuk merawat dan melestarikannya.
Saya berandai-andai, kalau saja kearifan-kearifan lokal yang mewujud dalam mitos dan hukum adat dipatuhi dan dihidupi mungkin kerusakan lingkungan bisa dicegah atau minimal dikurangi. Seperti adanya hukum adat di Timor-Timur (Timor Leste sekarang) kalau orang mau menebang pohon cendana harus meminta ijin tetua adat dan akan bersama-sama mengukur diameter pohon. Hanya pohon dengan diameter tertentu (pertanda sudah tua) boleh ditebang, dan penebang harus telah menanam lebih dari satu tanaman pengganti. Namun ketika ada pabrik pengolahan kayu cendana maka hukum adat itu tidak lagi berlaku yang berlaku adalah hukum ekonomi akibatnya pada tahun 1993 ketika saya tinggal di sana kayu cendana sulit untuk ditemukan.
Paus Fransiskus dalam seruan pastoral Laudato Si mengutip pernyataan Patriarkh Ekumenis Bartolomeus tentang perlunya setiap orang bertobat dari cara memperlakukan planet ini. Beliau mengatakan:” Sekecil apa pun kerusakan ekologis yang kita timbulkan, kita dipanggil untuk mengakui kontribusi kita, kecil atau besar, terhadap luka- luka dan kerusakan alam ciptaan. Bila manusia menghancurkan keaneka- ragaman hayati ciptaan Tuhan; bila manusia mengurangi keutuhan bumi ketika menyebabkan perubahan iklim, menggunduli bumi dari hutan alamnya atau menghancurkan lahan-lahan basahnya; bila manusia mencemari air, tanah, udara, dan lingkungan hidupnya semua ini adalah dosa. Sebab kejahatan terhadap alam adalah dosa terhadap diri kita sendiri dan dosa terhadap Allah.” Rasanya aneh dan tidak berguna untuk jaman ini membicarakan dosa dan tidak dosa. Namun kiranya yang paling penting setiap dari kita menyadari dampak yang sekarang kita rasakan akibat kerusakan lingkungan. Butuh ketegasan pemerintah dan aparat hukum untuk menindak tegas korporasi-korporasi yang mengeksploitasi alam. Dan dalam skala kecil setiap dari kita mengurangi kontribusi merusak lingkungan.
“Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena Saudari kami, Ibu Pertiwi, yang menopang dan mengasuh kami, dan menumbuhkan berbagai buah-buahan, beserta bunga warna-warni dan rerumputan”. Semoga doa Gita Sang Surya dari St. Fransiskus Asisi menjadi doa kita syukur atas alam semesta yang mewujud dalam tidakan nyata mengurangi kontribusi kita atas perusakan alam semesta dan memberikan kontribusi nyata untuk merawat dan melestarikannya.
Iwan Roes
Tidak ada komentar:
Posting Komentar