Senin, 13 Maret 2017

Renungan : oleh Romo Rusbani Setiawan BS.
Catatan di Penghujung Hari
13 Maret 2017

Harian Kompas yang terbit hari Minggu 12 Maret, memberitakan dan mengulas tentang pertunjukan teater dengan judul Presiden Kita Tercinta. Dalam ulasan disebut bahwa pesan moral dari pementasan teater itu adalah bahwa kekuasaan tidak ada artinya kalau saja itu hanya menjadi embrio penderitaan, yaitu kekuasaan yang hanya melahirkan penderitaan. Pesan moral ini menjadi terasa begitu menusuk di tengah hangatnya berita tentang banyaknya pejabat di negeri ini yang terjerat kasus korupsi. Salah satu berita yang masih hangat menjadi pembicaraan adalah kasus korupsi KTP elektronik. Bukan saja soal jumlah uang yang fantastis yang diduga dikorupsi tetapi lebih dari itu banyaknya pejabat dan petinggi di negeri ini yang diduga terlibat. Banyaknya pejabat dan petinggi negeri ini yang terjerat kasus korupsi menunjukkan matinya mata hati dan budi mereka. Sudah pasti dan amat jelas bahwa tindakan mereka menyebabkan penderitaan banyak orang. Keluarga mereka pasti terkena imbasnya namun keluarga mereka telah menikmati “manisnya” hasil korupsi, sedang masyarakat banyak yang seharusnya mendapatkan kesejahteraan terabaikan karena tindakan mereka.
​Banyak orang berambisi untuk menduduki jabatan atau kekuasaan dalam bidang apapun di negeri ini dan ambisi itu adalah sah, baik dan benar; karena Negara memanggil setiap warga negara untuk berpartisipasi mengelola negara ini. Namun melihat kasus banyaknya pejabat yang terjerat kasus korupsi maka pertanyaan dasar adalah apa yang mendasari ambisi mereka. St. Ignatius dari Loyola seorang ahli rohani Gereja Katolik mengatakan bahwa “tujuan pertama dan utama manusia diciptakan adalah untuk mengabdi, memuji dan menghormati Allah agar dengan demikian jiwanya diselamatkan. Segala sesuatu adalah sarana untuk mencapai tujuan itu.” Karena segala sesuatu adalah sarana maka kemampuan untuk memilih sarana yang terbaik demi tujuan itu menjadi amat penting.
Kembali ke pertanyaan soal apa yang mendasari ambisi mereka yang ingin menduduki jabatan atau kekuasaan nampaknya ambisi sering kali mengaburkan antara mana yang sarana dan mana yang tujuan. Ketika jabatan dan kekuasaan menjadi tujuan hidup maka apapun akan dilakukan demi mencapainya bahkan kalau perlu menghalalkan segala cara. Dengan demikian mereka berjalan memakai kacamata kuda. Hati, budi dan kemanusiaannya telah ditutup demi ambisinya. Maka tidak mengherankan kalau ambisinya hanya akan melahirkan penderitaan.
​ Dalam perjalanan hidup manusia sering kali tidak sadar akan hidup mereka, hidup hanya (waton glundhung) asal jalan ikut arus baik arus dari luar maupun arus dari dalam diri.
Betapa mengerkan negeri ini bila dikelola oleh orang-orang yang demikian.

Iwan Roes

Tidak ada komentar:

Posting Komentar