Catatan di Penghujung Hari
11 Maret 2017
Berita tentang
banyaknya para Pemimpin Daerah dan Anggota Dewan yang tesangkut kasus
korupsi dan ditegaskan dengan hasil survei yang menyatakan bahwa DPR
adalah lembaga terkorup muncul pertanyaan siapa yang salah? Mereka, para
Pemimpin Daerah dan Anggota Dewan adalah orang-orang yang dipilih oleh
rakyat untuk menduduki jabatan itu. Berdasar logika sederhana maka
rakyat yang memilihlah yang salah karena rakyat memilih orang-orang yang
tidak layak atau minimal menempatkan
orang-orang yang tidak mampu untuk melawan godaan. Namun benarkah para
pemilih yang salah? Kiranya rakyat yang memilih tidak bisa dipersalahkan
karena dalam kenyataannya pertama, rakyat tidak diberi pilihan yang
lain selain yang disodorkan oleh partai pengusung dan kedua, rakyat
sering “dibodohi” dengan berbagai macam janji dan anjuran oleh
tokoh-tokoh masyarakat untuk memilih orang tertentu atau partai
tertentu. Oleh karenanya jawaban sederhana siapa yang bersalah adalah
mereka yang mengusungnya.
Menengok pilkada DKI putaran kedua. Di media sosial beredar berita dan video yang menunjukkan usaha memenangkan salah satu pasangan calon dengan menggunakan sentimen agama. Ulama-ulama dana atau pemuka-pemuka masyarakat mempengaruhi umatnya untuk memilih salah satu pasangan calon dan bahkan dengan cara membaiat sampai dengan teror tidak mendoakan mereka yang meninggal jika tidak memilih pasangan calon tertentu. Dengan cara-cara seperti ini rakyat “dibodohi” karena masyarakat tidak diajak menjadi pemilih yang cerdas. Masyarakat tidak diberi pengetahuan dan wawasan tentang pasangan yang hendak dipilih. Para ulama dan pemuka masyarakat tidak berani jujur mengatakan kebenaran tentang pasangan calon yang dianjurkan untuk dipilih. Hal lain yang patut dipertanyakan adalah apakah para ulama dan pemuka masyarakat menganjurkan rakyat untuk memilih pasangan calon tertentu bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat atau untuk keuntungan pribadinya.
Kalau nanti pasangan calon yang diusungnya jadi Gubernur DKI dan kemudian tersangkut korupsi, apa pertanggung jawaban para ulama dan pemuka masyarakat?
Betapa mengerikan kalau sampi para ulama dan pemuka masyarakat membunuh hati nuraninya demi kepentingan pribadi dan sesaat saja. Kembali rakyat akan menjadi korban dan apa yang harus diperbuat oleh rakyat, mereka akan diminta sabar serta tawakal.
Menengok pilkada DKI putaran kedua. Di media sosial beredar berita dan video yang menunjukkan usaha memenangkan salah satu pasangan calon dengan menggunakan sentimen agama. Ulama-ulama dana atau pemuka-pemuka masyarakat mempengaruhi umatnya untuk memilih salah satu pasangan calon dan bahkan dengan cara membaiat sampai dengan teror tidak mendoakan mereka yang meninggal jika tidak memilih pasangan calon tertentu. Dengan cara-cara seperti ini rakyat “dibodohi” karena masyarakat tidak diajak menjadi pemilih yang cerdas. Masyarakat tidak diberi pengetahuan dan wawasan tentang pasangan yang hendak dipilih. Para ulama dan pemuka masyarakat tidak berani jujur mengatakan kebenaran tentang pasangan calon yang dianjurkan untuk dipilih. Hal lain yang patut dipertanyakan adalah apakah para ulama dan pemuka masyarakat menganjurkan rakyat untuk memilih pasangan calon tertentu bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat atau untuk keuntungan pribadinya.
Kalau nanti pasangan calon yang diusungnya jadi Gubernur DKI dan kemudian tersangkut korupsi, apa pertanggung jawaban para ulama dan pemuka masyarakat?
Betapa mengerikan kalau sampi para ulama dan pemuka masyarakat membunuh hati nuraninya demi kepentingan pribadi dan sesaat saja. Kembali rakyat akan menjadi korban dan apa yang harus diperbuat oleh rakyat, mereka akan diminta sabar serta tawakal.
Iwan Roes
Tidak ada komentar:
Posting Komentar