Kamis, 02 Maret 2017

Renungan : oleh Romo Rusbani Setiawan BS.
Catatan di Penghujung Hari
2 Maret 2017

Berita harian Kompas hari ini di bawah judul Koalisi Cair, Koalisi Kekuasaan, memberitakan bahwa pilkada serentak 2017 menunjukkan cairnya relasi partai politik dalam membangun koalisi mengusung calon kepala daerah. Tidak muncul dikotomi antara partai yang ada di alam dan di luar pemerintah. Platform dan program partai juga seolah tak menjadi sekat. Koalisi pun dibangun demi kekuasaan. Data menunjukkan, koalisi yang “cair” berujung pada keberhasilan mempertahankan atau merebut kekuasaan. Gun Gun Heryanto mengatakan bahwa dampak dari cairnya koalisi yang berorientasi pada kekuasaan, koalisi tidak menjadi kanal pelembagaan politik, tetapi membuat mereka terjebak pada pragmatism jangka pendek. Akibatnya partai tidak cukup dipercaya membawa suara basis pemilihnya serta menimbulkan jurang komunikasi yang membuat ikatan dan identifikasi diri pemilih dan partai semakin pudar.
​Dalam system demokrasi partai politik menjadi instrument penting dalam membangun pemerintahan, karena partai politik menjadi personifikasi rakyat. Rakyat memilih partai politik tertentu karena platform dan program partai mewakili aspirasi mereka. Dalam beberapa tahun terakhir nampak bahwa partai tidak lagi dianggap sebagai perwakilan untuk menyalurkan aspirasi rakyat. Sebagai contoh ketika menjelang pilkada DKI partai-partai politik gaduh gara-gara Ahok memutuskan untuk maju sebagai calon independen. Antusiasme masyarakat terhadap calon independen ini menimbulkan kekhawatiran dalam pilkada lebih banyak yang memilih calon independen. Akibat dari kegaduhan ini partai-partai politik lewat wakilnya di lembaga legislatif merasa perlu merevisi Undang-Undang agar tidak mudah bagi calon independen untuk maju pilkada.
​Sayangnya kekhawatiran partai politik tidak lagi dianggap sebagai penyalur aspirasi masyarakat tidak serta merta diikuti dengan perubahan-perubahan perilaku partai itu sendiri. Partai tidak menegaskan platform dan programnya sebagai penampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, sehingga masyarakat semakin tahu dan yakin kemana penyalurk aspirasi. Akan tetapi yang terjadi partai politik justru melihat masyarakat sebagai alat untuk membesarkan dan memenuhi ambisi partai. Ketika partai politik melihat masyarakat sebagai alat untuk partainya maka masyarakat terjebak dengan pragmatis kepentingan sesaat sering kali hal itu berkaitan dengan politik uang. Masyarakat tidak punya ikatan dengan partai tertentu mana yang menguntungkan (dalam konteks materi) itulah yang dipilih. Dengan demikian semakin banyak massa mengambang dalam system demokrasi kita. Dampak yang lebih besar adalah partai merasa tidak bertanggung jawab kepada masyarakat dan masyarakat akan menjadi semakin apolitik.
​Ketika masyarakat tidak punya saluran aspirasi dan atau aspirasi mereka diabaikan maka memunculkan parlemen jalanan atau bahaya yang lebih besar situasi ini menjadi habitat untuk suburnya populisme.

Iwan Roes

Tidak ada komentar:

Posting Komentar