Catatan di Penghujung Hari
8 Februari 2017
Dalam harian
Kompas hari ini. di bawah judul Menjaga Semangat Penegakan Hak Asasi
Manusia, menyebut salah satu sebab lambatnya penegakan HAM di Indonesia
adalah tumbuhnya populisme beberapa tahun terakhir ini. Populisme dalam
praktik menyatukan berbagai kelompok masyarakat membentuk mayoritas
dengan menggunakan satu identitas yang memungkinkan kelompok mayoritas
mengidentifikasikan diri. Berbekembangnya populisme berakibat pada marjinalisasi
kelompok minoritas berbasis suku, ras, agama, jender, atau golongan.
Beberapa tahun ke depan, demokrasi Indonesia akan diwarnai pertarungan
politik berberbagai bentuk populisme, antara lain nasionalisme dan
agama, seperti pada perkembangan terakhir. Kecenderungan terakhir
memperlihatkan, populisme yang muncul diserap dan menjadi alat
oligarkhi.
Apa yang telah diperlihatkan di ranah politik akhir-akhir ini khususnya berkaitan dengan Pemilu di DKI Jakarta menunjukan kecenderungan populisme yang semakin kuat. Ada banyak usaha-usaha untuk menyatukan mayoritas dengan identitas baru sebagai korban penistaan atau penzoliman. Gerakan populisme dengan tujuan pragmatis dan jangka pendek dan dalam satu wilayah kecil dari keseluruhan tanah air ini telah menimbulkan kegaduhan dan menorehkan luka bagi bangsa ini. Keadaban publik telah dipinggirkan dan kemanusia sudah sering diinjak-injak.
Gerakan populisme seperti diatas seolah-oleh melupakan atau menghilangkan fakta bahwa identitas manusia bergantung pada kehadiran orang lain. Gerakan populisme seperti itu juga telah menghilangkan kemanusiaan karena pendasaran diri kelompok bukan lagi berdasar kesetaraan sebagai manusia tetapi pada etnis, agama atau kepentingan. Kalau hal ini terus terjadi maka ungkapan “homo homini lupus” (manusia adalah serigala bagi manusia lain) akan terjadi dalam konteks mayoritas akan menindas minoritas, satu golongan akan menindas golongan lain. Mengerikan bila sungguh terjadi.
Dalam skala yang amat kecil apa yang bisa kita perbuat?. Belajar menghargai kehadiran orang lain sebagai sesama manusia yang sama dan sederajat denganku dan belajar menghormatinya.
Apa yang telah diperlihatkan di ranah politik akhir-akhir ini khususnya berkaitan dengan Pemilu di DKI Jakarta menunjukan kecenderungan populisme yang semakin kuat. Ada banyak usaha-usaha untuk menyatukan mayoritas dengan identitas baru sebagai korban penistaan atau penzoliman. Gerakan populisme dengan tujuan pragmatis dan jangka pendek dan dalam satu wilayah kecil dari keseluruhan tanah air ini telah menimbulkan kegaduhan dan menorehkan luka bagi bangsa ini. Keadaban publik telah dipinggirkan dan kemanusia sudah sering diinjak-injak.
Gerakan populisme seperti diatas seolah-oleh melupakan atau menghilangkan fakta bahwa identitas manusia bergantung pada kehadiran orang lain. Gerakan populisme seperti itu juga telah menghilangkan kemanusiaan karena pendasaran diri kelompok bukan lagi berdasar kesetaraan sebagai manusia tetapi pada etnis, agama atau kepentingan. Kalau hal ini terus terjadi maka ungkapan “homo homini lupus” (manusia adalah serigala bagi manusia lain) akan terjadi dalam konteks mayoritas akan menindas minoritas, satu golongan akan menindas golongan lain. Mengerikan bila sungguh terjadi.
Dalam skala yang amat kecil apa yang bisa kita perbuat?. Belajar menghargai kehadiran orang lain sebagai sesama manusia yang sama dan sederajat denganku dan belajar menghormatinya.
Iwan Roes
Tidak ada komentar:
Posting Komentar