Rabu, 15 Februari 2017

Renungan oleh : Romo Rusbani Setiawan BS.


Catatan di Penghujung Hari
14 Februari 2017

Dalam berita investigasi Majalah Tempo No. 50 tahun 2017 di bawah judul Pelesir Gelap Pesakitan Sukamiskin, memberitakan banyak para terpidana korupsi yang bisa keluar dari penjara untuk menikmati kemewahan hidup di luar penjara. Bahkan juga diberitakan para terpidana dapat memilih sel tahanan dengan fasilitas mewah asal menyediakan sejumlah uang. Disebut para terpidana dapat keluar masuk penjara sesuka hati asal menyediakan dana antar 5 – 10 juta rupiah, sedangkan untuk mendapatkan sel mewah harus menyediakan dana antara 30 – 200 juta. Rio Capela mantan terpindana yang menikmati kemewahan penjara menyebut angka 10 juta rupiah per bulan untuk biaya di penjara.
            Melihat jumlah uang yang tidak sedikit untuk menikmati kemewahan hidup di penjara maka sudah dapat dipastikan bahwa hanya mereka yang berkantung tebal yang dapat menikmati kemewahan itu. Sementara di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin Bandung, para terpidana korupsi dikumpulkan. Artinya penghuni Lapas ada koruptor kelas kakap hingga koruptor kelas teri. Bila melihat kesenjangan hidup di penjara semacam itu bukankah lebih baik menjadi koruptor kelas kakap sehingga seandainyapun harus dipenjara tetap dapat menikmati kemewahan hidup.
            Pemidanaan diharapkan memberikan efek jera bagi pelaku korupsi. Namun melihat apa yang terjadi di penjara tidak mengherankan bahwa meski sudah banyak orang yang ditangkap karena korupsi tidak memberi efek jera kepada pelaku yang lain. Bahkan ketika di sorot media  mereka berlaku bak pesohor tanpa rasa malu.  Berita tentang kemewahan hidup di lapas bukan kali ini saja dan sudah berkali-kali pemerintah berjanji memperbaiki pola pembinaan di lapas, Akan tetapi kembali berita tentang kemewahan dan hak khusus yang diterima para napi khusus tetap masih ada. Muara dari semua itu adalah uang.
            Uang telah mengalahkan segala-galanya. Karena uang banyak orang rela menggadaikan keluhuran martabat kemanusiaannya.

Iwan Roes

Tidak ada komentar:

Posting Komentar