Catatan di Penghujung Hari
14 Februari 2017
Dalam berita investigasi Majalah
Tempo No. 50 tahun 2017 di bawah judul Pelesir Gelap Pesakitan Sukamiskin,
memberitakan banyak para terpidana korupsi yang bisa keluar dari penjara untuk
menikmati kemewahan hidup di luar penjara. Bahkan juga diberitakan para
terpidana dapat memilih sel tahanan dengan fasilitas mewah asal menyediakan
sejumlah uang. Disebut para terpidana dapat keluar masuk penjara sesuka hati
asal menyediakan dana antar 5 – 10 juta rupiah, sedangkan untuk mendapatkan sel
mewah harus menyediakan dana antara 30 – 200 juta. Rio Capela mantan terpindana
yang menikmati kemewahan penjara menyebut angka 10 juta rupiah per bulan untuk
biaya di penjara.
Melihat jumlah uang yang tidak sedikit untuk menikmati kemewahan hidup di
penjara maka sudah dapat dipastikan bahwa hanya mereka yang berkantung tebal
yang dapat menikmati kemewahan itu. Sementara di Lembaga Pemasyarakatan
Sukamiskin Bandung, para terpidana korupsi dikumpulkan. Artinya penghuni Lapas
ada koruptor kelas kakap hingga koruptor kelas teri. Bila melihat kesenjangan
hidup di penjara semacam itu bukankah lebih baik menjadi koruptor kelas kakap
sehingga seandainyapun harus dipenjara tetap dapat menikmati kemewahan hidup.
Pemidanaan diharapkan memberikan efek jera bagi pelaku korupsi. Namun melihat
apa yang terjadi di penjara tidak mengherankan bahwa meski sudah banyak orang
yang ditangkap karena korupsi tidak memberi efek jera kepada pelaku yang lain.
Bahkan ketika di sorot media mereka berlaku bak pesohor tanpa rasa malu.
Berita tentang kemewahan hidup di lapas bukan kali ini saja dan sudah
berkali-kali pemerintah berjanji memperbaiki pola pembinaan di lapas, Akan
tetapi kembali berita tentang kemewahan dan hak khusus yang diterima para napi
khusus tetap masih ada. Muara dari semua itu adalah uang.
Uang telah mengalahkan segala-galanya. Karena uang banyak orang rela
menggadaikan keluhuran martabat kemanusiaannya.
Iwan Roes
Tidak ada komentar:
Posting Komentar