Catatan di Penghujung
Hari
22 Februari 2017
Ada seorang ibu sepuh bercerita
bahwa ia, suami, anak dan calon menantunya dimarahi oleh seorang pastor. Ibu
itu datang ke pastor untuk mengadukan masalah perkawinan yang dihadapai oleh
anak perempuannya. Ibu itu tahu bahwa apa yang dialami oleh anak perempuannya
itu tidak mungkin diselesaikan menurut hukum dan tatacara perkawinan katolik
karena adanya halangan perkawinan. Namun demikian ibu itu bermaksud untuk
mendapatkan bantuan nasehat bagaimana agar mereka dapat mempertahankan iman
mereka sebagai orang katolik. Namun sayang bukan bantuan dan nasehat untuk
dapat menemukan jalan keluar tetapi justru dimarahi dan tetap dengan masalah
yang belum ada jalan keluar.
Tentu
semua cerita tetap butuh cross check dengan pastor yang bersangkutan. Lepas
benar atau tidak cerita ibu sepuh itu, cerita tentang umat yang datang ke
pastor untuk mendapatkan bantuan berkaitan dengan masalah perkawinan atau
masalah lain yang salah menurut hukum Gereja sering kali menemukan jalan buntu
dan tidak jarang justru mendapatkan perlakuan yang kurang menyenangkan dari
pastornya. Kisah-kisah tentang para pastor yang sering tidak memberikan
pemecahan dan pertolongan dalam berhadapan dengan hukum Gereja berbanding
terbalik dengan apa yang ditampilkan oleh pimpinan Gereja Katolik Roma Sri Paus
Fransiskus. Ada kisah seorang ibu muda yang di negara yang amat memegang
tradisi katolik dengan kuat, hamil di luar nikah. Pasangannya mau menikahi
kalau ibu muda itu menggugurkan anak yang dikandungnya. Ia memilih berpisah
dengan pasangannya demi mempertahankan kandungannya. Masalah muncul ketika ibu
itu ingin membabtiskan anaknya. Tidak ada satu pastorpun di kota itu yang mau
membabtis anak hasil hubungan di luar nikah tersebut. Ibu itu mengirim surat kepada
Sri Paus dan apa yang dilakukan Sri Paus memanggil ibu itu dan Beliau sendiri
yang membabtisnya. Apa yang ditampilkan oleh Sri Paus adalah tanda dan
kesaksian nyata bahwa Gereja Katolik adalah
Gereja yang murah hati. Sri Paus mengajak para Imamnya dan umatnya agar
menampilkan Gereja sebagai Gereja yang murah hati dan penuh belas kasih. Hukum
adalah Hukum bukan untuk dilanggar atau dicari-cari celah untuk bisa melanggar.
Akan tetapi ketika berhadapan dengan situasi tidak bisa diselesaikan dengan
hukum dibutuhkan bantuan pastoral bagi umat yang bermasalah agar tetap dapat
menghayati Iman katolik dengan baik dan bahagia.
Para
Imam sebagai garda terdepan dalam mewartakan Gereja yang murah hati dan
berbelas kasih. Sikap simpati, empati dan compassion dari para imam dibutuhkan
ketika berhadapan dengan para umat. Tidak mudah memang tetapi kiranya dengan
rahmat tahbisan yang kami terima kekurangan dan kelemahan kami menjadi cara
agar Tuhan semakin terlibat dalam hidup dan karya kami. Masak Imam kalah dengan
Pegadaian. (moto Pegadaian menyelesaikan masalah tanpa masalah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar