Catatan di Penghujung Hari
26 Februari 2017
Beberapa waktu
yang lalu beredar di media sosial video perkelahian pelajar atau yang
sering dikenal dengan tawuran pelajar. Dari seragam sekolah yang
dikenakan tampak bahwa mereka adalah pelajar Sekolah Menengah Atas.
Dalam tayang tersebut nampak betapa beringas para pelajar dengan senjata
yang dibawanya. Bahkan nampak beberapa pelajar membawa clurit. Dalam
tayangan tersebut ada tampilan yang sungguh mengerikan dimana ada
seorang pelajar yang terjatuh kemudian
dihujani pukulan dengan menggunakan clurit. Sebuah kejadian yang
mengerikan dan menyesakkan. Mengerikan karena mempertunjukan
keberingasan dan kekejaman; menyesakkan karena itu dilakukan oleh para
pelajar dan masih menggunakan seragam sekolah.
Kejadian tawuran pelajar seperti tidak pernah ada habisnya, dan tidak jarang merenggut korban dari pelajar yang tidak pernah terlibat di dalamnya. Berbagai upaya tentu sudah banyak ditempuh tetapi belum menunjukkan hasil yang signifikan. Akar persoalan dari tawuran pun sulit untuk ditemukan. Beberapa kejadian tawuran bersumber dari dendam yang turun temurun sedang ujung persoalan sudah tidak diketahui lagi. Beberapa kejadian yang lain bermula dari saling ejek diangkutan umum beberapa kejadian bersumber dari “jiwa korsa” yang sempit dan salah. Sebuah pola pendidikan yang kurang baik yang diduga terjadi pada saat pengenalan siswa baru atau orientasi sekolah yang dipandu oleh para senior. Karena pada saat itu diduga ada penanaman nilai yang kemudian menjadi sumber terjadinya tawuran pelajar.
Kembali betapa penting institusi penyelenggara pendidikan menyadari bahwa sekolah belum sungguh menjadi tempat pendidikan generasi masa depan yang menjanjikan. Lembaga penyelenggara pendidikan bisa saja berpendapat bahwa pelaku tawuran adalah oknum dan dikenai sanksi dikeluarkan dari sekolah. Mereka yang kemudian dikeluarkan dari sekolah apakah tidak menjadi lebih berbahaya sebagai generasi masa datang? Pendidikan karakter perlu mendapatkan porsi yang lebih dari cukup dibandingkan dengan pengajaran. Selama ini pengajaran mendapatkan porsi yang lebih banyak dibandingkan pendidian karakter. Pendidikan-pendidikan humaniora, yang mengantar para peserta didik pada kesadaran kemanusiaan sehigga menjunjung tinggi kemanusiaan menjadi hal pokok dalam pendidikan karakter.
Pendidikan yang berbasis cinta kasih yang di dalamnya belajar kastria dan kerelaan untuk mengampuni akan menghasilkan generasi mendatang yang menjadi agen-agen kedamaian dan pejuang kemanusiaan.
Kejadian tawuran pelajar seperti tidak pernah ada habisnya, dan tidak jarang merenggut korban dari pelajar yang tidak pernah terlibat di dalamnya. Berbagai upaya tentu sudah banyak ditempuh tetapi belum menunjukkan hasil yang signifikan. Akar persoalan dari tawuran pun sulit untuk ditemukan. Beberapa kejadian tawuran bersumber dari dendam yang turun temurun sedang ujung persoalan sudah tidak diketahui lagi. Beberapa kejadian yang lain bermula dari saling ejek diangkutan umum beberapa kejadian bersumber dari “jiwa korsa” yang sempit dan salah. Sebuah pola pendidikan yang kurang baik yang diduga terjadi pada saat pengenalan siswa baru atau orientasi sekolah yang dipandu oleh para senior. Karena pada saat itu diduga ada penanaman nilai yang kemudian menjadi sumber terjadinya tawuran pelajar.
Kembali betapa penting institusi penyelenggara pendidikan menyadari bahwa sekolah belum sungguh menjadi tempat pendidikan generasi masa depan yang menjanjikan. Lembaga penyelenggara pendidikan bisa saja berpendapat bahwa pelaku tawuran adalah oknum dan dikenai sanksi dikeluarkan dari sekolah. Mereka yang kemudian dikeluarkan dari sekolah apakah tidak menjadi lebih berbahaya sebagai generasi masa datang? Pendidikan karakter perlu mendapatkan porsi yang lebih dari cukup dibandingkan dengan pengajaran. Selama ini pengajaran mendapatkan porsi yang lebih banyak dibandingkan pendidian karakter. Pendidikan-pendidikan humaniora, yang mengantar para peserta didik pada kesadaran kemanusiaan sehigga menjunjung tinggi kemanusiaan menjadi hal pokok dalam pendidikan karakter.
Pendidikan yang berbasis cinta kasih yang di dalamnya belajar kastria dan kerelaan untuk mengampuni akan menghasilkan generasi mendatang yang menjadi agen-agen kedamaian dan pejuang kemanusiaan.
Iwan Roes
Tidak ada komentar:
Posting Komentar