Rabu, 05 April 2017

Renungan : oleh Romno Rusbani setiawan BS.
Catatan di Penghujung Hari
5 April 2017

Head line harian Kompas hari ini dengan judul MA – DPD Permainkan Hukum mengupas wakil ketua Mahkamah Agung memimpin upacara pengambilan sumpah jabatan pimpinan Dewan Perwakilan Daerah. Pengambilan sumpah pimpinan DPD oleh wakil ketua MA menjadi persoalan karena sebelumnya MA telah mengeluarkan amar putusan yang membatalkan Peraturan DPD Nomor 1 Tahun 2016 dan Peraturan DPD Nomor 1 Tahun 2017. Dengan putusan MA tersebut maka DPD tidak punya dasar hukum untuk memilih unsur pimpinan DPD periode April 2017 sampai September 2019. Maka menjadi aneh bahwa MA melanggar putusan pengadilan yang dibuatnya sendiri.
Ada Apa dengan Mahkamah Agung? Sebelum masalah pengambilan sumpah, MA telah menjadi sorotan berkaitan dengan salah ketik atas amar putusan tentang pembatalan dua Peraturan DPD, sehingga menjadi polemik di DPD mengenai keabsahan putusan. MA menegaskan kesalahan ketik tidak mengubah esensi putusan MA dan mengikat secara hukum. Mahkamah Agung adalah benteng keadilan di negeri ini, berbagai upaya pencari keadilan bermuara di MA dan kemudian mengikat bagi semua yang berpekara. Dengan peristiwa ini menjadikan orang meragukan integritas dan kapabilitas MA. Betul bahwa MA punya hak dan kemampuan diskresi akan tetapi diskresi tidak berarti menabrak putusan pengadilan yang telah dibuatnya. Seharusnya diskresi dibuat berdasarkan norma-norma moral dan keadilan yang lebih baik bagi masyarakat negeri ini. Perilaku MA tidak menunjukkan bahwa mereka sadar bahwa lembaga dimana mereka mengabdi adalah benteng terakhir keadilan di negeri ini.
MA dan lembaga peradilan di bawahnya seharusnya menjadi lembaga atau institusi yang independen bebas dari pengaruh praktek politik praktis dan penguasa. Betapa mengerikan ketika institusi peradilan ini ditarik ke wilayah politik praktis, karena institusi akan menjadi alat politik dan kehilangan independesinya. Namun demikian rasanya amat susah membebaskan institusi peradilan dari kepentingan politik praktis. Para Hakim Agung , untuk bisa menjadi Hakim Agung melalui proses politik yaitu dipilih oleh DPR. Sementara banyak contoh proses pemilihan di DPR didasarkan pada integritas dan kapabilitas akan tetapi pada kepentingan partai-partai politik. Maka tidak mengherankan bahwa dalam proses pemilihan semacam itu terjadi lobi-lobi politik yang patut diduga ada unsur transaksi-transaksi saling menguntungkan. Orang-orang berintegritas dan kapabilitas tinggi dengan idealisme menempatkan lembaga hukum sebagai lembaga independen seringkali terpental jauh.
Ada ungkapan masuk lewat pintu mereka dan keluar lewat pintu kita kiranya cara yang harus ditempuh oleh orang-orang berintegritas dan capabilitas tinggi untuk memperjuangkan idealismenya. Tapi bukankah ketika “lewat pintu mereka” berarti mengorbankan integritasnya?

Iwan Roes

Tidak ada komentar:

Posting Komentar