Rabu, 03 Mei 2017

Renungan : oleh Romo Rusbani Setiawan BS.
Catatan di Penghujung Hari
3 Mei 2017

Kemarin ada pengumuman kelulusan untuk pelajar sekolah menengah. Apa yang tampak dari peristiwa pengumuman kelulusan adalah adanya arak-arakan kendaraan bermotor pelajar sekolah menengah dengan baju yang tercoret-coret dan rambut dicat warna warni. Mereka mengungkap kegembiraan dengan cara demikian. Mereka merasa telah berhasil melewati sebuah perjuangan panjang dan sudah mencapai puncaknya. Namun benarkah demikian? Benarkah mereka yang dinyatakan lulus adalah pelajar yang sungguh-sungguh berjuang dan dinyatakan mampu?
Saya ingat cerita seorang guru Sekolah Menengah Kejuruan. Sekolah Menengah Kejuruan ini sebagian besar peserta didiknya adalah anak laki-laki. Sebagaimana terjadi di banyak sekolah perilaku peserta didik dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar amat variatif. Ada peserta didik yang rajin mengikuti kegiatan belajar mengajar, tidak sedikit peserta didik yang malas mengikuti kegiatan belajar mengajar sehingga sering membolos. Pimpinan sekolah mengintruksikan kepada semua guru agar seluruh peserta didik berhasil dan dinyatakan lulus karena prosentase kelulusan siswa menentukan mutu sekolah di mata masyarakat. Berdasarkan instruksi pimpinan sekolah maka para guru mulai berakrobat mencari akal bagaimana agar semua peserta didik bisa dinyatakan lulus. Mengingat salah satu faktor penentu kelulusan adalah laporan hasil belajar semester ganjil tahun terakhir, maka guru-guru ”mengakali” laporan hasil belajar. Peserta didik yang malas mengikuti kegiatan belajar mengajar dan sering membolos nilai dinaikkan sedemikian agar aman, sedang anak-anak yang rajin dan pandai nilainya tidak perlu dinaikkan karena sudah aman. Terjadilah bahwa setelah Ujian Nasional nilai anak-anak yang malas dan sering membolos jauh lebih tinggi dari anak-anak yang rajin, bahkan yang dinyatakan sebagai lulusan terbaik dengan nilai tertinggi adalah anak yang paling malas mengikuti kegiatan belajar mengajar.
Ini adalah kisah potret buram pendidikan di negeri ini. Sudah sejak awal para peserta didik dimasukkan dalam sistem yang tidak jujur, dan dininabobokkan dengan “akrobat” para guru. Akibatnya daya juang peserta didik menjadi lemah dan selalu ada dalam sistem yang tidak jujur dan mencari sistem yang tidak jujur pula.
Pertanyaan besar adalah mau dibawa kemana generasi macam ini.

Iwan Roes
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar